Perjanjian
Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum
internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
hukum publik.
Pemerintah
Republik Indonesia mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara sebagai
berikut :
a.
Penandatangan;
b.
pengesahan;
c.
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik;
d.
cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional
Untuk
memastikan dijalankannya tahapan-tahapan penyusunan perjanjian internasional
(konsultasi, koordinasi, dan sebagainya), Kemlu memanfaatkan “momentum”
kebutuhan kementerian pemrakarsa akan surat kuasa (full power)
dan/atau kertas perjanjian yang dikeluarkan oleh Kemlu.
Perjanjian internanasional yang mempersyaratkan ratifikasi tidak
berlaku jika salah satu pihak belum meratifikasi perjanjian tersebut. Setelah
diratifikasi, berlakunya perjanjian tersebut bergantung pada paham yang berlaku
di negara tersebut: monisme atau dualisme. Pasal 26 Konvensi Wina 1969:
perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Pasal 27: negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk
menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari
perjanjian internasional.
Ratifikasi adalah
proses adopsi perjanjian internasional, atau konstitusi
atau dokumen yang bersifat nasional lainnya (seperti amandemen terhadap
konstitusi) melalui persetujuan dari tiap entitas kecil di dalam bagiannya.
Proses ratifikasi konstitusi sering ditemukan pada negara federasi
seperti Amerika Serikat atau konfederasi
seperti Uni Eropa.
Ratifikasi suatu kovensi atau perjanjian Internasional lainnya hanya
dilakukan oleh Kepala Negara / Kepala Pemerintahan. Pasal 14 Kovensi Wina
1980 mengatur tentang kapan ratifikasi memerlukan persetujuan agar dapat
mengikat. Kewenangan untuk menerima atau menolak ratifikasi melekat pada
kedaulatan negara. Hukum Internasional tidak mewajibkan suatu negara untuk
meratifikasi. Suatu perjanjian. Namun bila suatu negara telah meratifikasi
Perjanjian Internasional maka negara tersebut akan terikat oleh Perjanjian
Internasional tersebut, Sebagai konsekuensi negara yang telah meratifikasi
perjanjian internasional tersebut akan terikat dan tunduk pada perjanjian
internasional yang telah ditanda tangani, selama materi atau subtansi dalam
perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan
Nasional.Kecuali dalam perjanjian bilateral, diperlukan ratifikasi.
Pada pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai
tindakan internasional dimana suatu Negara menyatakan kesediaannya atau
melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Karena
itu ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan baru mengikat sejak
penandatanganan ratifikasi.
Sebagai
Negara merdeka yang berdaulat Indonesia telah aktif berperan dalam pergaulan
hubungan Internasional dan mengadakan perjanjian-perjanjian Internasional
dengan negara-negara lain, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Dalam
melaksanakan perjanjian-perjanjian Internasional tersebut, Indonesia menganut
prinsip Primat Hukum Nasional dalam arti bahwa Hukum Nasional mempunyai
kedudukan lebih tinggi daripada hukum Internasional. Dasar kewenangan presiden
dalam pembuatan Perjanjian Internasional diatur dalam pasal 11 Undang-Undang
dasar 1945 mengatur tentang perjanjian Internasional sebagai berikut:
(1). Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian, dan perjanjian dengan Negara lain.
(2). Presiden
dalam membuat perjanjian Internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
Negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3). Ketentuan
lebih lanjut tentang perjajian Internasional diatur dalam Undang-undang.
Berdasarkan
pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan surat
Presiden nomor : 2826/Hk tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang
berisi ketentuan - ketentuan sebagai berikut:
- Bila Perjanjian Internasional tersebut mengatur perjajian tentang masalah – masalah yang terkait dengan politik dan kebijaksanaan Negara Republik Indonesia, Diratifikasi dengan undang – undang.
- Dalam hal Perjanjian
Internasional tersebut mengatur tentang masalah-masalah yang bersifat
tehnis dan segera, diratifikasi dengan keputusan Presiden.
Pada tahun 2000 surat Presiden nomor: 2826 tersebut dihapus dengan juga adanya Undang-undang nomor: 24/2000 tentang Perjanjian Internasional yang juga memuat ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Surat Presiden nomor: 2826.
Perjanjian
Internasional tidak termasuk dalam susunan jenis peraturan perundang-undangan diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) sebagai berikut:
a. Undang-Undang Dasar 1945.
b.
Undang-Undang / Peraturan pengganti Undang-undang (Perpu).
c. Peraturan
Pemerintah (PP).
d. Peraturan
Presiden.
e. Peraturan
Daerah
f. Peraturan
Desa
Tentang
kedudukan Perjanjian Internasional dalam sistem peraturan perundang-undang
Nasional, meskipun dalam Undang-Undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Peraturan,
Perundang-undangan tidak masuk sebagai jenis peraturan Perundang-undangan,
namun perjanjian Internasional juga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
mengikat sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi (pasal 7 ayat 4 undang-undang nomor 10 tahun 2004 tentang Perjajian
Internasional.
Dalam sistem Hukum Nasional kita, ratifikasi Perjanjian
Internasional diatur dalam Undang – Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional.
Ratifikasi
perjanjian internasional oleh Pemerintah RI dilakukan sepanjang dipersyaratkan
oleh perjanjian internasional tersebut dilakukan dengan undang-undang atau
keputusan presiden.
Ratifikasi
perjanjian internasional dilakukan dengan undang- undang apabila berkenaan
dengan
:
a.
masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b.
perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c.
kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d.
hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e.
pembentukan kaidah hukum baru;
f.
pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Perjanjian
internasional yang materinya tidak termasuk materi dilakukan dengan keputusan
presiden.Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan
presiden yang
mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat
untuk
dievaluasi.
Dalam
mengesahkan suatu perjanjian internasional, lembaga pemrakarsa yang terdiri
atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non
departemen, menyiapkan salinan naskah perjanjian, terjemahan, rancangan
undangundang,atau rancangan keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian
internasional dimaksud serta dokumen-dokumen lain yang diperlukan. Lembaga
pemrakarsa, yang terdiri atas lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non departemen, mengkoordinasikan pembahasan rancangan
dan/atau materi permasalahan yang pelaksanaannya dilakukan bersama dengan
pihak-pihak terkait.Prosedur pengajuan pengesahan perjanjian internasional
dilakukan melalui Menteri
untuk
disampaikan kepada Presiden.Setiap undang-undang atau keputusan presiden
tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.Menteri menandatanganipiagam pengesahan untuk mengikatkan
Pemerintah Republik Indonesia
pada suatu perjanjian internasional untuk dipertukarkan dengan negara pihak atau disimpan oleh
negara atau lembaga penyimpanan pada organisasi internasional.
·
Pengundangan
Hasil Perjanjian Internasional
Tentang
hal-hal yang berkenaan tentang perjanjian internasional sebenarnya sudah ada UU
yang mengatur yaitu UU 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional namun UU ini
masih belum mengatur jelas tentang kedudukan dari Hukum Internasional dengan
Hukum nasional,apakah ada tingkatan antara kedua hukum ini atau keduanya
merupakan satu kesatuan sistem hukum.Salah satu hukum dari perjanjian
internasional yang telah menjadi hukum nasional (telah diratifikasi) yaitu
UCLOS 1982 yang diundangkan menjadi UU 17 Tahun 1985
Dalam
suatu hal yang dimuat dalam ratifikasi perjanjian internasional tidak selalu
diatur oleh 1 jenis macam perundangan,misalkan perairan yang diatur UU 17 Tahun
1985 Konvensi Hukum Laut (hasil ratifikasi UNCLOS) ternyata perairan juga
diatur dalam jenis peraturan perundangan yang lain yaitu UU Perpu 4 tahun 1960.
Dalam
hierarki peraturan perundangan Indonesia masing-masing jenis perundangan
memiliki muatan sendiri-sendiri yang harus dimuat dan tentu saja jika dicari
lebih jauh dari yang teratas sampai ke bawah akan mengerucut pada UUD NRI 1945
kemudian sampai ke grundnorm norma dasar kita yaitu Pancasila.Hal inilah yang
menjadi dasar kenapa hal-hal yang berkaitan dengan perairan nasional hasil
ratifikasi UNCLOS harus diundangkan dalam bentuk produk UU.Pada hasil
perjanjian konvensi laut 1982 banyak mengatur tentang kedaulatan,wilayah
negara,dan pembagian daerah.Hal-hal sepenting ini tentu tidak dapat hanya diatur
melalui peraturan seperti PP atau malah Perda karna telah menyangkut
kepentingan skala nasional,akan berbeda jika hal-hal yang diatur bukan
kepentingan nasional seperti penyelenggaraan kepentingan daerah.Jika hanya
menyangkut daerah barulah perundangan dapat dilakukan dalam bentuk Perda.
Seperti yang telah disebutkan,meskipun UU 1985
ini merupakan perundangan yang diserap dari Perjanjian Internasional namun
ketentuan-ketentuan di dalamnya tidak boleh bertentangan dengan norma dasar
negara kita,sehingga untuk itulah diadakan pengesahan dengan persetujuan antara
presiden dan DPR dalam meratifikasi
suatu perjanjian Internasional
6 komentar:
terimakasih
maksih, sangat bermanfaat dalam menambah wawasan saya
terima kasih. ini sangat membantu untuk mengerjakan tugas saya.
Terimakasih sangat membantu mengerjakan tugas sekolah saya
Terimakasih sangat membantu mengerjakan tugas sekolah saya
Terima kasih sangat membantu untuk tugas sekolah saya :)
Posting Komentar