Sabtu, 26 Januari 2013

Kejahatan terhadap Kemanusiaan

 

I.       PENDAHULUAN

            Terminologi “crime against humanity” yang di Indonesia sudah digunakan secara juridis-formal sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan – sudah digunakan secara non-teknis pada tahun 1915, ketika pemerintah Perancis, Inggris dan Rusia mengeluarkan sebuah Deklarasi (28 Mei 1915) yang mengutuk pembantaian warga Amerika oleh Turki sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban (crime against humanity and civilation)”, dan semua aparat pemerintahan  Turki harus bertanggungjawab.[1]Istilah ini kembali digunakan berkaitan dengan PD I, dimana komisi 15 Negara yang dibentuk pada januari 1919 untuk menyelidiki kejahatan perang yang terjadi dalam laporannya menyebut kejahatan terhadap “laws of humanity”, disamping kejahatan perang (war crime). Tetapi penggunaan istilah tersebut dibatalkan oleh anggota Komisi 15 dari Amerika Serikat dengan alasan bahwa pengadilan hanya dapat menerapkan hukum yang berlaku, bukan gambaran umum tentang hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan (principles of humanity) yang merupakan bagian dari ranah hukum moral.[2]

            Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan Internasional telah secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.

            Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

            Begitu banyaknya kekerasan yang terjadi di Indonesia namun, tidak ada satupun dari kekerasan tersebut hingga kini dapat diungkap. Sebut saja kekerasan dari mulai tahun 1965, dimana jutaan orang mati dibunuh dan dipenjara tanpa proses peradilan yang fair, dan belum lagi perampasan tanah serta properti yang diambil paksa.

            Kemudian kita bisa lihat kasus Lampung di daerah Talang Sari, Kasus Tanjung Priok, penculikan aktifis pada peristiwa 27 Juli 1996 dan ratusan kasus lainnya hingga kini belum ada satupun yang diangkat ke meja hijau ataupun ada pelaku yang diadili sesuai dengan keadilan para korban. Dan tahun ini, kita akan kembali diingatkan mengenai tragedi kerusuhan yang terjadi dengan skala nasional, yang mempunyai dampak yang sangat buruk di mata internasional, yaitu Kerusuhan 13-14 Mei1998.

            Kami, kembali mengangkat isu Kerusuhan Mei 1998 sebagai tema besar dalam berbagai macam media yang tersedia. Hal ini kami lakukan karena hingga kini tidak ada upaya yang cukup progresif menuntaskan kasus tersebut. Hampir lima (5) tahun korban dan keluarganya menuntut dan berjuang agar kasus ini mendapat perhatian dari pemerintah.

            Namun tetap saja setelah melewati pergantian 3 kali pemerintahan (B.J. Habibie, Abdulrrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri), kasus ini tidak lebih dari sekedar catatan sejarah yang kelabu bagi bangsa ini. Seakan-akan, tragedi ini hanyalah butiran debu diantara butiran lainnya yangtidak pantas untuk diperhatikan. Padahal pemerintahan yang kini menyebutkan diri mereka sebagai pemerintahan “reformasi” dapat berkuasa setelah kerusuhan dan penggulingan Suharto ini terjadi.

            Banyak pertanyaan yang muncul mengenai kerusuhan ini. Seperti misalnya begaimana kejadian kerusuhan itu sendiri, sebenarnya berapa jumlah orang yang menjadi korban dalam kerusuhan tersebut, siapakah dalang dalam kerusuhan tersebut, apakah benar ada korban perkosaan dan kemudian apakah kerusuhan ini dapat disebut sebagai kerusuhan rasial. Namun dari sekian banyak pertanyaan yang mucul, hanya sedikit jawaban yang kita dapati, dan tidak ada satupun yang diurusi.



[1]Memorandum Amerika diajukan oleh delegasi Yunani ke Komisi 15 pada tanggal 14 Maret 1919. Dikutip dari Kriangsak Kittichaisaree. International Criminal Law (Oxford University Press: Oxford,2001)

[2]Ibid., 180-3

 

 

 

II. PEMBAHASAN

            Dalam hal ini kami selaku kelompok tugas pidana internasional mengangkat tema tugas kami yaitu “KEJAHATAN KEMANUSIAAN PADA PERISTIWA MEI 1998” , Karena  menurut kelompok kami peristiwa tersebut hingga saat ini masih belum ada penyelesaiannya. Dalam hal ini kami menspesifikasikan pokok pembahasan kami pada kasus kerusuhan mei 1998 dan bagaimana kejadian tersebut dapat terjadi dan dikategorikan sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bagaimana cara penyelesaiannya.

            Sebelum masuk ke pokok pembahasan kami mengajak pembaca untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian dari kejahatan kemanusiaan itu sendiri.

A.    PENGERTIAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Istilah original kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) pertama kali ditemukan preambule hague convention 1907. Elanjutnya setelah perang dunia pertama, komisi infestigasi kejahatan perang menggunakan istilah “crimes against the laws of humanity” untuk tindakan pejabat – pejabat turkey yang melakukan pembunuhan terhadap penduduk Armenia.

Pada tahun 1945, stelah perang dunia ke dua, para Negara pemenang perang mengadakan charter of the international military tribunal (IMT) , Yang berkedudukan di nuremberg, yang menggunakan istilah crimes against humanity  dan mengartikannya sebagai (Pasal 6 huruf c). Sejak Charter of IMT inilah, crimes against humanity diakui sebagai salah satu bentuk kejahatan serius dalam hukum internasional yg berlaku[1].

Satuta Roma mendefinisakan crimes against humanity dengan menyebutkan jenis-jenis kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a.       Pembunuhan

b.      Pemusnahan

c.       Perbudakan

d.      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e.       Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional

f.       Penyiksaan

g.      Perkosaan, Perbudakan seksual, Pelacuran secara paksa, Pemaksaan kehamilan, Pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

h.      Penganiaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional

i.        Penghilangan orang secara paksa

j.        Kejahatan apartheid

 

Sedangkan menurut Undang-undang Pengadilan HAM menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan kejahatan genosida, sebagai pelanggaran HAM berat. Sedangkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a.       Pembunuhan

b.      Pemusnahan

c.       Perbudakan

d.      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e.       Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional

f.       Penyiksaan

g.      Perkosaan, Perbudakan seksual, Pelacuran secara paksa, Pemaksaan kehamilan, Pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

h.      Penganiaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional

i.        Penghilangan orang secara paksa

j.        Kejahatan apartheid[2]

 

B.     KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DALAM PERISTIWA KERUSUHAN MEI 1998

Berkaitan dengan terjadinya kerusuhan peristiwa Mei 1998 yang menjadi pertanyaan adalah apakah peristiwa Mei 1998 dapat dikualifikasikan sebagai kejahtan terhadap kemanusiaan berdasarkan Undang-undang Pengadilan HAM. Pertanyaan tersebut dengan sendirinya telah terjawab apabila kita mengacu pada laporan yang dibuat oleh 2 lembaga yang dibentuk secara resmi oleh Negara, yaitu TGPF dan KOMNAS HAM.

TGPF, yang dibentuk oleh pemerintahan BJ Habibie saat itu, yang merupakan pemerintahan yang sah secara hukum, yaitu melalui keputusan beberapa menteri pembantunya, yang khusus dibentuk dengan tujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta dan latar belakang terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998, berdasarkan fakta-fakta yang didapatkannya, telah menyimpulkan bahwa pada kerusuhan tersebut telah terjadi serangkaian peristiwa yang mempunyai indikasi adanya pelanggaran HAM berat (gross violetion of human rights), khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan[3]

Sedangkan Tim Ad Hoc penyelidikan peristiwa Mei 1998 dibentuk oleh KOMNAS HAM.  Pembentukan tersebut dilakukan berdasarkan kewenangan sebagai pnyelididk yang melekat padanya berdasarkan ketentuan pasal 18-20 Undang-Undang Pengadilan HAM. Berdasarkan hasil penyelidikan oleh tim Ad Hoc maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Peristiwa kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Peristiwa tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari cara-cara represif yang dipergunakan oleh rezim orde baru dalam pengelolaan masalah bangsa yang bertujuan menghapus semua potensi perlawanan murni dari kelompok masyarakat. Peristiwa Mei 1998 harus dilihat sebagai rangkaianpanjang berbagai operasi intelejen di penghujung kekuasaan orde baru.

2.      Melihat sifat meluasnya dan sifat sistematisnya kejadian, urutan peristiwa dan skala waktu peristiwa maka tim Ad Hoc menarik kesimpulan bahwa peristiwa tersebut tidak berlangsung secara spontan, tapi lebih merupakan sebuah kerusuhan yang disengaja dan atau dirancang

3.      Sifat melusnya peristiwa terlihat dari kerusuhan yang terjadi setidak-tidaknya di 88 lokasi diseluruh wilayah Jakarta, bekasi, dan tangerang.

4.      Sifat sistematis peristiwa terlihat dari hal-hal seperti adanya serangan terhadap kelompok etnis tertentu, khususnya Tionghoa, sebagai akibat dari kebijakan Negara yang diskriminatif, adanya berbagai macam tindakan criminal yang berulang-ulang diberbagai tempat dalam rentang waktu yang sama dengan pola yangsama, dan dipicu oleh sekelompok orang yang memiliki karakteristik sejenis pada tiap lokasi kerusuhan. Adanya pola pembiaran terjadinya kerusuhan yang terlihat dari temuan fakta banyak terjadinya kekosongan aparat dan atau tindakan aparat yang membiarkan kerusuhan terjadi.

5.      Peristiwa kerusuhan Mei 1998 juga menunjukan juga warga bangsa tak mendapat perlindungan hukum yang cukup dari aparat Negara yang bertugas dan berkewajiban untuk memberikan perlindungan.

6.      Aparat keamanan tidak bertindak secara patut dan layak, malah ada tendensi sengaja membiarkan kerusuhan terjadi. Aparat tak berupaya menghalau masa dan tingkah laku dan memutus pergerakan masa dari satu tempat ketempat lain. Bahkan disejumlah tempat pada saat kerusuhan tengah terjadi, aparat keamanan tidak tampak menjaga ibu kota. Fakta-fakta yang ditemukan menunjukan di satu fihka terjadi serangan yang meluas dan sitematis terhadap penduduk sipil dan dilain pihak terjadi tindakan pembiaran oleh aparat keamanan.

7.      Denga terpenuhinya unsur meluas dan sistematis dari srangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil pada kerusuhan Mei 1998 sebagai akibat kebijakan Negara yang diskriminatif, tim menyimpulkan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

8.      Selanjutnya tim menyimpulkan perlunya dimintakan pertanggungjawaban kepada para pihak yang patut diduga bertanggungjawab secara hukum atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristia kerusuhan Mei 1998[4]

Berdasarkan hasil dari dua lembaga tersebut diatas, jelas dan tegas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi indikasi atau dugaan pelanggaran HAM yang berat in casu kejahatanterhadap kemanusiaan dalam peritiwa Mei 1998. Oleh karena telah adanya dugaan, maka berdasarkan system hukum yang saat ini berlaku di Indonesia, ada dua penyelesaian hukum yaitu melalui pengadilan HAM Ad Hoc dengan mngecu pada pengadilan HAM atau melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi dengan mengacu pada Undang-Undang KKR.

C. MEKANISME PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

A. Pengadilan HAM di Indonesia

            Munculnya lembaga peradilan HAM di Indonesia dilatarbelakangi oleh buruknya situasi di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999. Keadaan ini menarik perhatian dunia internasional, khususnya PBB, untuk mengambil tindakan guna memulihkan keadaan tersebut.

            Terhadap situasi tersebut, PBB melalui Dewan Keamanan (DK) mengeluarkan resolusi nomor: 1264 tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur. Menyikapi desakan PBB yang juga merupakan desakan internasional dan demi melindungi kepentingan nasional yang lebih besar, maka pemerintah Indonesia membentuk pengadilan HAM yang mengundangkan UU nomor: 26 tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Pembentukan pengadilan HAM ini merupakan pelaksanaan dari pasal 104 paragraf (1) UU nomor: 39 tahun 1999 tentang HAM.

            Menurut UU nomor 26/2000, yang dimaksud dengan pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat HAM yang dikategorikan pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.

            Berdasarkan UU nomor 26 tahun 2000 yang berwenang mengadili pelanggaran HAM berat adalah pengadilan HAM yang dibentuk oleh UU tersebut. Sedangkan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU tersebut berlaku, maka akan dilakukan oleh pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan presiden berdasarkan usul DPR (Pasal 43 UU nomor 26 tahun 2000).[5]

            Berdasarkan pada keputusan presiden (Pasal 43 ayat 2) tersebut menyatakan bahwa pengusulan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc itu harus dilakukan oleh DPR atas dasar dugaan yang telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi Locus Delicti dan Tempos Delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU nomor 26/2000.

Pada perkembangannya muncul kekhawatiran bahwa kewenangan DPR ini dapat disalahgunakan untuk mengesampingkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang semestinya layak diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc. Kekhawatiran tersebut terjadi ketika panitia khusus yang dibentuk oleh DPR menetapkan beberapa peristiwa seperti: tragedi Trisakti, Semanggi I dan II tidak terjadi pelanggaran HAM berat sebagaimana yang dimaksud oleh UU nomor 26 tahun 2000. Atas situasi tersebut, DPR yang dianggap lembaga politik yang tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, karena penyelidikan adalah tindakan yang bersifat yudisial, maka keluarlah putusan MK pada tanggal 21 Februari 2008 atas uji materi pasal 43 ayat 2 UU nomor 26/2000 tentang pengadilan HAM sehingga DPR tidak lagi dapat membentuk pengadilan HAM Ad Hoc kecuali berdasar pada penyelidikan Komnas HAM. Dengan prosedur ini, maka terdapat peristiwa yang diselidiki oleh Komnas HAM, yang salah satunya adalah kasus peristiwa kerusuhan Mei 1998.

B.     Penyelesaian kasus Peristiwa kerusuhan mei 1998.

Perkara kerusuhan Mei 1998 berdasarkan buku- buku yang kita miliki tidak menunjukan penyelesaian perkara yang jelas, para korban pun hingga saat ini pun masih menuntut hak pada pemerintah untuk memperoleh keadilan.

Menurut KOMNAS HAM Pada peristiwa kerusuhan mei 1998 sudah jelas merupakan suatu pelanggaran HAM berat yang terkategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam hal ini bukti-bukti yang didapat oleh tim penyelidik ad hoc diserahkan ke kejaksaan agung namun secara resmi pada 4 maret 2004 jaksa agung mengembalikan berkas penyelidikan kasus peristiwa kerusuhan mei 1998 kepada KOMNAS HAM dengan alasan berkas tersebut dinyatakan belum lengkap, dan dalam perkembangan selanjutnya pada 17 mei 2004 pihak kejaksaan agung mengembalikan juga BAP yang dibuat oleh KOMNAS HAM sehingga kasus ini selalu berjalan ditempat dan tidak ada kemajuan.

Seharusnya dalam kasus ini sangat diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum atau yang berwenang mengurusi peristiwa ini, kami menilai kejaksaan agung tidak berani menindak para pelaku-pelaku yang terlibat dan harus bertanggung jawab pada peristiwa ini hanya dikarenakan pelaku-pelaku tersebut merupakan petinggi – petinggi negeri ini pada masa orde baru dalam kasus ini juga terkesan adanya indikasi ketidak seriusan para penegak hukum yang terkesan membiarkan kasus ini dengan harapkan hilang dimakan waktu juga beberapa unsur – unsur politis yang terdapat didalam penyelsaian kasus ini, itu semua seharusnya dapat dihilangkan apabila para petinggi negeri ini ingin memberikan rasa adil terhadap para korban dan keluarganya yang sudah sangat lama mencari sebuah keadilan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

·         Hamid, Usman, dkk.2005.Menatap Wajah Korban:Upaya Mendorong Penyelesaian Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

·         Rahayu,SH, M,Hum. 2010.Hukum Hak Asasi Manusia (HAM).Badan Penerbit Universitas Diponegoro:Semarang

·         Adjie, Indriyanto Seno.2009.Humanisme dan Pembaharuan Penegakan Hukum.Kompas:Jakarta

·         Human Rights Watch.2004.Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.Elsam:Jakarta

·         Komnas HAM.2007.Laporan Tahunan 2007 Komnas HAM. Komnas HAM:Jakarta Pusat

·         Abdul Haris Semendawai, SH, L.L.M. 2007.Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.Elsam:Jakarta

·         Abdul, Rina, dkk.2004.Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.Komnas HAM:Jakarta

·          



[1]Hamid, Usman.2005.Menatap Wajah Korban:Upaya mendorong penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Halaman 136.

[2]Lihat Undang-undang Pengadilan HAM

[3]Hamid, Usman.2005.Menatap Wajah Korban:Upaya mendorong penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Halaman 141.

[4]Lihat Ringkasan Eksekutif  Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 Komnas HAM tanggal 5 September 2003

[5]  Dilakukannya pengadilan HAM Ad Hoc bagi kasus-kasus yang terjadi sebelum UU nomor 26 tahun 2000 diundangkan, merupakan perkecualian dari asas Non-Retroaktif, dimana seseorang tidak dapat diadili atas hukum yang berlaku surut yakni berdasarkan UU yang pada saat tindakan itu dilakukan belum diundangkan.

Tidak ada komentar: