Sabtu, 26 Januari 2013

Kejahatan terhadap Kemanusiaan

 

I.       PENDAHULUAN

            Terminologi “crime against humanity” yang di Indonesia sudah digunakan secara juridis-formal sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan – sudah digunakan secara non-teknis pada tahun 1915, ketika pemerintah Perancis, Inggris dan Rusia mengeluarkan sebuah Deklarasi (28 Mei 1915) yang mengutuk pembantaian warga Amerika oleh Turki sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban (crime against humanity and civilation)”, dan semua aparat pemerintahan  Turki harus bertanggungjawab.[1]Istilah ini kembali digunakan berkaitan dengan PD I, dimana komisi 15 Negara yang dibentuk pada januari 1919 untuk menyelidiki kejahatan perang yang terjadi dalam laporannya menyebut kejahatan terhadap “laws of humanity”, disamping kejahatan perang (war crime). Tetapi penggunaan istilah tersebut dibatalkan oleh anggota Komisi 15 dari Amerika Serikat dengan alasan bahwa pengadilan hanya dapat menerapkan hukum yang berlaku, bukan gambaran umum tentang hukum dan prinsip-prinsip kemanusiaan (principles of humanity) yang merupakan bagian dari ranah hukum moral.[2]

            Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam hukum internasional yang mengacu pada tindakan pembunuhan massal dengan penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan Internasional telah secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia.

            Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

            Begitu banyaknya kekerasan yang terjadi di Indonesia namun, tidak ada satupun dari kekerasan tersebut hingga kini dapat diungkap. Sebut saja kekerasan dari mulai tahun 1965, dimana jutaan orang mati dibunuh dan dipenjara tanpa proses peradilan yang fair, dan belum lagi perampasan tanah serta properti yang diambil paksa.

            Kemudian kita bisa lihat kasus Lampung di daerah Talang Sari, Kasus Tanjung Priok, penculikan aktifis pada peristiwa 27 Juli 1996 dan ratusan kasus lainnya hingga kini belum ada satupun yang diangkat ke meja hijau ataupun ada pelaku yang diadili sesuai dengan keadilan para korban. Dan tahun ini, kita akan kembali diingatkan mengenai tragedi kerusuhan yang terjadi dengan skala nasional, yang mempunyai dampak yang sangat buruk di mata internasional, yaitu Kerusuhan 13-14 Mei1998.

            Kami, kembali mengangkat isu Kerusuhan Mei 1998 sebagai tema besar dalam berbagai macam media yang tersedia. Hal ini kami lakukan karena hingga kini tidak ada upaya yang cukup progresif menuntaskan kasus tersebut. Hampir lima (5) tahun korban dan keluarganya menuntut dan berjuang agar kasus ini mendapat perhatian dari pemerintah.

            Namun tetap saja setelah melewati pergantian 3 kali pemerintahan (B.J. Habibie, Abdulrrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri), kasus ini tidak lebih dari sekedar catatan sejarah yang kelabu bagi bangsa ini. Seakan-akan, tragedi ini hanyalah butiran debu diantara butiran lainnya yangtidak pantas untuk diperhatikan. Padahal pemerintahan yang kini menyebutkan diri mereka sebagai pemerintahan “reformasi” dapat berkuasa setelah kerusuhan dan penggulingan Suharto ini terjadi.

            Banyak pertanyaan yang muncul mengenai kerusuhan ini. Seperti misalnya begaimana kejadian kerusuhan itu sendiri, sebenarnya berapa jumlah orang yang menjadi korban dalam kerusuhan tersebut, siapakah dalang dalam kerusuhan tersebut, apakah benar ada korban perkosaan dan kemudian apakah kerusuhan ini dapat disebut sebagai kerusuhan rasial. Namun dari sekian banyak pertanyaan yang mucul, hanya sedikit jawaban yang kita dapati, dan tidak ada satupun yang diurusi.



[1]Memorandum Amerika diajukan oleh delegasi Yunani ke Komisi 15 pada tanggal 14 Maret 1919. Dikutip dari Kriangsak Kittichaisaree. International Criminal Law (Oxford University Press: Oxford,2001)

[2]Ibid., 180-3

 

 

 

II. PEMBAHASAN

            Dalam hal ini kami selaku kelompok tugas pidana internasional mengangkat tema tugas kami yaitu “KEJAHATAN KEMANUSIAAN PADA PERISTIWA MEI 1998” , Karena  menurut kelompok kami peristiwa tersebut hingga saat ini masih belum ada penyelesaiannya. Dalam hal ini kami menspesifikasikan pokok pembahasan kami pada kasus kerusuhan mei 1998 dan bagaimana kejadian tersebut dapat terjadi dan dikategorikan sebagai tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan serta bagaimana cara penyelesaiannya.

            Sebelum masuk ke pokok pembahasan kami mengajak pembaca untuk mengetahui terlebih dahulu pengertian dari kejahatan kemanusiaan itu sendiri.

A.    PENGERTIAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Istilah original kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) pertama kali ditemukan preambule hague convention 1907. Elanjutnya setelah perang dunia pertama, komisi infestigasi kejahatan perang menggunakan istilah “crimes against the laws of humanity” untuk tindakan pejabat – pejabat turkey yang melakukan pembunuhan terhadap penduduk Armenia.

Pada tahun 1945, stelah perang dunia ke dua, para Negara pemenang perang mengadakan charter of the international military tribunal (IMT) , Yang berkedudukan di nuremberg, yang menggunakan istilah crimes against humanity  dan mengartikannya sebagai (Pasal 6 huruf c). Sejak Charter of IMT inilah, crimes against humanity diakui sebagai salah satu bentuk kejahatan serius dalam hukum internasional yg berlaku[1].

Satuta Roma mendefinisakan crimes against humanity dengan menyebutkan jenis-jenis kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a.       Pembunuhan

b.      Pemusnahan

c.       Perbudakan

d.      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e.       Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional

f.       Penyiksaan

g.      Perkosaan, Perbudakan seksual, Pelacuran secara paksa, Pemaksaan kehamilan, Pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

h.      Penganiaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional

i.        Penghilangan orang secara paksa

j.        Kejahatan apartheid

 

Sedangkan menurut Undang-undang Pengadilan HAM menyebutkan kejahatan terhadap kemanusiaan, bersama-sama dengan kejahatan genosida, sebagai pelanggaran HAM berat. Sedangkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

a.       Pembunuhan

b.      Pemusnahan

c.       Perbudakan

d.      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa

e.       Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar asas-asas ketentuan pokok hukum internasional

f.       Penyiksaan

g.      Perkosaan, Perbudakan seksual, Pelacuran secara paksa, Pemaksaan kehamilan, Pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara

h.      Penganiaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham polotik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional

i.        Penghilangan orang secara paksa

j.        Kejahatan apartheid[2]

 

B.     KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN DALAM PERISTIWA KERUSUHAN MEI 1998

Berkaitan dengan terjadinya kerusuhan peristiwa Mei 1998 yang menjadi pertanyaan adalah apakah peristiwa Mei 1998 dapat dikualifikasikan sebagai kejahtan terhadap kemanusiaan berdasarkan Undang-undang Pengadilan HAM. Pertanyaan tersebut dengan sendirinya telah terjawab apabila kita mengacu pada laporan yang dibuat oleh 2 lembaga yang dibentuk secara resmi oleh Negara, yaitu TGPF dan KOMNAS HAM.

TGPF, yang dibentuk oleh pemerintahan BJ Habibie saat itu, yang merupakan pemerintahan yang sah secara hukum, yaitu melalui keputusan beberapa menteri pembantunya, yang khusus dibentuk dengan tujuan untuk menemukan dan mengungkap fakta dan latar belakang terjadinya peristiwa kerusuhan Mei 1998, berdasarkan fakta-fakta yang didapatkannya, telah menyimpulkan bahwa pada kerusuhan tersebut telah terjadi serangkaian peristiwa yang mempunyai indikasi adanya pelanggaran HAM berat (gross violetion of human rights), khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan[3]

Sedangkan Tim Ad Hoc penyelidikan peristiwa Mei 1998 dibentuk oleh KOMNAS HAM.  Pembentukan tersebut dilakukan berdasarkan kewenangan sebagai pnyelididk yang melekat padanya berdasarkan ketentuan pasal 18-20 Undang-Undang Pengadilan HAM. Berdasarkan hasil penyelidikan oleh tim Ad Hoc maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1.      Peristiwa kerusuhan Mei 1998 adalah sebuah peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Peristiwa tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari cara-cara represif yang dipergunakan oleh rezim orde baru dalam pengelolaan masalah bangsa yang bertujuan menghapus semua potensi perlawanan murni dari kelompok masyarakat. Peristiwa Mei 1998 harus dilihat sebagai rangkaianpanjang berbagai operasi intelejen di penghujung kekuasaan orde baru.

2.      Melihat sifat meluasnya dan sifat sistematisnya kejadian, urutan peristiwa dan skala waktu peristiwa maka tim Ad Hoc menarik kesimpulan bahwa peristiwa tersebut tidak berlangsung secara spontan, tapi lebih merupakan sebuah kerusuhan yang disengaja dan atau dirancang

3.      Sifat melusnya peristiwa terlihat dari kerusuhan yang terjadi setidak-tidaknya di 88 lokasi diseluruh wilayah Jakarta, bekasi, dan tangerang.

4.      Sifat sistematis peristiwa terlihat dari hal-hal seperti adanya serangan terhadap kelompok etnis tertentu, khususnya Tionghoa, sebagai akibat dari kebijakan Negara yang diskriminatif, adanya berbagai macam tindakan criminal yang berulang-ulang diberbagai tempat dalam rentang waktu yang sama dengan pola yangsama, dan dipicu oleh sekelompok orang yang memiliki karakteristik sejenis pada tiap lokasi kerusuhan. Adanya pola pembiaran terjadinya kerusuhan yang terlihat dari temuan fakta banyak terjadinya kekosongan aparat dan atau tindakan aparat yang membiarkan kerusuhan terjadi.

5.      Peristiwa kerusuhan Mei 1998 juga menunjukan juga warga bangsa tak mendapat perlindungan hukum yang cukup dari aparat Negara yang bertugas dan berkewajiban untuk memberikan perlindungan.

6.      Aparat keamanan tidak bertindak secara patut dan layak, malah ada tendensi sengaja membiarkan kerusuhan terjadi. Aparat tak berupaya menghalau masa dan tingkah laku dan memutus pergerakan masa dari satu tempat ketempat lain. Bahkan disejumlah tempat pada saat kerusuhan tengah terjadi, aparat keamanan tidak tampak menjaga ibu kota. Fakta-fakta yang ditemukan menunjukan di satu fihka terjadi serangan yang meluas dan sitematis terhadap penduduk sipil dan dilain pihak terjadi tindakan pembiaran oleh aparat keamanan.

7.      Denga terpenuhinya unsur meluas dan sistematis dari srangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil pada kerusuhan Mei 1998 sebagai akibat kebijakan Negara yang diskriminatif, tim menyimpulkan telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa tersebut sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM

8.      Selanjutnya tim menyimpulkan perlunya dimintakan pertanggungjawaban kepada para pihak yang patut diduga bertanggungjawab secara hukum atas terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristia kerusuhan Mei 1998[4]

Berdasarkan hasil dari dua lembaga tersebut diatas, jelas dan tegas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi indikasi atau dugaan pelanggaran HAM yang berat in casu kejahatanterhadap kemanusiaan dalam peritiwa Mei 1998. Oleh karena telah adanya dugaan, maka berdasarkan system hukum yang saat ini berlaku di Indonesia, ada dua penyelesaian hukum yaitu melalui pengadilan HAM Ad Hoc dengan mngecu pada pengadilan HAM atau melalui komisi kebenaran dan rekonsiliasi dengan mengacu pada Undang-Undang KKR.

C. MEKANISME PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

A. Pengadilan HAM di Indonesia

            Munculnya lembaga peradilan HAM di Indonesia dilatarbelakangi oleh buruknya situasi di Timor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999. Keadaan ini menarik perhatian dunia internasional, khususnya PBB, untuk mengambil tindakan guna memulihkan keadaan tersebut.

            Terhadap situasi tersebut, PBB melalui Dewan Keamanan (DK) mengeluarkan resolusi nomor: 1264 tahun 1999 yang isinya mengecam pelanggaran berat HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur. Menyikapi desakan PBB yang juga merupakan desakan internasional dan demi melindungi kepentingan nasional yang lebih besar, maka pemerintah Indonesia membentuk pengadilan HAM yang mengundangkan UU nomor: 26 tahun 2000 tanggal 23 November 2000. Pembentukan pengadilan HAM ini merupakan pelaksanaan dari pasal 104 paragraf (1) UU nomor: 39 tahun 1999 tentang HAM.

            Menurut UU nomor 26/2000, yang dimaksud dengan pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran berat HAM yang dikategorikan pelanggaran HAM berat yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida.

            Berdasarkan UU nomor 26 tahun 2000 yang berwenang mengadili pelanggaran HAM berat adalah pengadilan HAM yang dibentuk oleh UU tersebut. Sedangkan terhadap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU tersebut berlaku, maka akan dilakukan oleh pengadilan HAM Ad Hoc yang dibentuk dengan Keputusan presiden berdasarkan usul DPR (Pasal 43 UU nomor 26 tahun 2000).[5]

            Berdasarkan pada keputusan presiden (Pasal 43 ayat 2) tersebut menyatakan bahwa pengusulan pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc itu harus dilakukan oleh DPR atas dasar dugaan yang telah terjadinya pelanggaran HAM berat yang dibatasi Locus Delicti dan Tempos Delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya UU nomor 26/2000.

Pada perkembangannya muncul kekhawatiran bahwa kewenangan DPR ini dapat disalahgunakan untuk mengesampingkan perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang semestinya layak diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc. Kekhawatiran tersebut terjadi ketika panitia khusus yang dibentuk oleh DPR menetapkan beberapa peristiwa seperti: tragedi Trisakti, Semanggi I dan II tidak terjadi pelanggaran HAM berat sebagaimana yang dimaksud oleh UU nomor 26 tahun 2000. Atas situasi tersebut, DPR yang dianggap lembaga politik yang tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan, karena penyelidikan adalah tindakan yang bersifat yudisial, maka keluarlah putusan MK pada tanggal 21 Februari 2008 atas uji materi pasal 43 ayat 2 UU nomor 26/2000 tentang pengadilan HAM sehingga DPR tidak lagi dapat membentuk pengadilan HAM Ad Hoc kecuali berdasar pada penyelidikan Komnas HAM. Dengan prosedur ini, maka terdapat peristiwa yang diselidiki oleh Komnas HAM, yang salah satunya adalah kasus peristiwa kerusuhan Mei 1998.

B.     Penyelesaian kasus Peristiwa kerusuhan mei 1998.

Perkara kerusuhan Mei 1998 berdasarkan buku- buku yang kita miliki tidak menunjukan penyelesaian perkara yang jelas, para korban pun hingga saat ini pun masih menuntut hak pada pemerintah untuk memperoleh keadilan.

Menurut KOMNAS HAM Pada peristiwa kerusuhan mei 1998 sudah jelas merupakan suatu pelanggaran HAM berat yang terkategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam hal ini bukti-bukti yang didapat oleh tim penyelidik ad hoc diserahkan ke kejaksaan agung namun secara resmi pada 4 maret 2004 jaksa agung mengembalikan berkas penyelidikan kasus peristiwa kerusuhan mei 1998 kepada KOMNAS HAM dengan alasan berkas tersebut dinyatakan belum lengkap, dan dalam perkembangan selanjutnya pada 17 mei 2004 pihak kejaksaan agung mengembalikan juga BAP yang dibuat oleh KOMNAS HAM sehingga kasus ini selalu berjalan ditempat dan tidak ada kemajuan.

Seharusnya dalam kasus ini sangat diperlukan ketegasan dari aparat penegak hukum atau yang berwenang mengurusi peristiwa ini, kami menilai kejaksaan agung tidak berani menindak para pelaku-pelaku yang terlibat dan harus bertanggung jawab pada peristiwa ini hanya dikarenakan pelaku-pelaku tersebut merupakan petinggi – petinggi negeri ini pada masa orde baru dalam kasus ini juga terkesan adanya indikasi ketidak seriusan para penegak hukum yang terkesan membiarkan kasus ini dengan harapkan hilang dimakan waktu juga beberapa unsur – unsur politis yang terdapat didalam penyelsaian kasus ini, itu semua seharusnya dapat dihilangkan apabila para petinggi negeri ini ingin memberikan rasa adil terhadap para korban dan keluarganya yang sudah sangat lama mencari sebuah keadilan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

·         Hamid, Usman, dkk.2005.Menatap Wajah Korban:Upaya Mendorong Penyelesaian Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998.

·         Rahayu,SH, M,Hum. 2010.Hukum Hak Asasi Manusia (HAM).Badan Penerbit Universitas Diponegoro:Semarang

·         Adjie, Indriyanto Seno.2009.Humanisme dan Pembaharuan Penegakan Hukum.Kompas:Jakarta

·         Human Rights Watch.2004.Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.Elsam:Jakarta

·         Komnas HAM.2007.Laporan Tahunan 2007 Komnas HAM. Komnas HAM:Jakarta Pusat

·         Abdul Haris Semendawai, SH, L.L.M. 2007.Genosida Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.Elsam:Jakarta

·         Abdul, Rina, dkk.2004.Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.Komnas HAM:Jakarta

·          



[1]Hamid, Usman.2005.Menatap Wajah Korban:Upaya mendorong penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Halaman 136.

[2]Lihat Undang-undang Pengadilan HAM

[3]Hamid, Usman.2005.Menatap Wajah Korban:Upaya mendorong penyelesaian hukum kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998. Halaman 141.

[4]Lihat Ringkasan Eksekutif  Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 Tim Ad Hoc Penyelidikan Kerusuhan Mei 1998 Komnas HAM tanggal 5 September 2003

[5]  Dilakukannya pengadilan HAM Ad Hoc bagi kasus-kasus yang terjadi sebelum UU nomor 26 tahun 2000 diundangkan, merupakan perkecualian dari asas Non-Retroaktif, dimana seseorang tidak dapat diadili atas hukum yang berlaku surut yakni berdasarkan UU yang pada saat tindakan itu dilakukan belum diundangkan.

Perbedaan UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun 2004

No.

PERBEDAAN

Undang-Undang

ANALISIS

UU NO 22 TAHUN 1999

UU NO 32 TAHUN 2004

1.

Konsep Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah Otonom untuk menatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(Pasal 1 huruf h)

Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(Pasal 1 angka 5)

Pada intinya sama, Otonomi daerah merupakan hak wewenang dan kewajiban daerah untuk mengurus urusan pemerintahannya sendiri.

2.

Pemerintahan Daerah

pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi. (ps.1 huruf d)

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sitem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(Ps.1 angka 2)

Dalam UU No.22/1999 dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah dan DPRD hanya berdasar asas desentralisasi. Sedangkan dalam UU No.32/2004 penyelenggaraan pemerintah daerah oleh pemda dan DPRD menganut asas otonomi serta tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya.

3.

Pemerintah Daerah

Pemerintah daerah adalah kepala daerah beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.(ps 1 huruf b)

pemerintah daerah adalah gubernur,bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah. (ps.1 angka 3)

dalam UU no.32/2004 terdapat penunjukan secara jelas siapa saja pelaksana pemerintah daerah yang dimaksud, seperti Gubernur , bupati, walikota. sedangkan dalam UU No.22/1999 pelaksana pemerintah daerah hanya disebut secara umum yaitu kepala daerah dan perangkat-perangkatnya sebaga badan eksekutif daerah

4.

Kewenangan Daerah

Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan dalam bidang lain. (Ps. 7 ayat 1)

Kewenangan bidang lain sebagaimana di maksud dalam ayat (1), meliputi kebijaksanaan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaaan dan pemberdayaaan sumber dana manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasidan standarisasi nasional. (Ps. 7 ayat 2)

Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintah yang menjadi kewenangannya kecuali urusan pemerintah yang oleh Undang-Undang ini di tentukan menjadi urusan Pemerintah. (Ps. 10 ayat 1)

Urusan pemerintah yang dimaksud sebagaimana pada ayat (1) meliputi:

a.       Politik luar negeri

b.      Pertahanan

c.       Keamanan

d.      Yustisi

e.       Moneter dan fiskal nasional

f.       Agama

(Ps. 10 ayat 3)

Dalam UU No.22/1999 urusan pemerintahan yang bukan menjadi urusan pemerintahan daerah meliputi: politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiscal nasional, agama di tambah di dalam Ps. 7 ayat  2 yaitu kewenangan bidang lain yang meliputi: kebijakan tentag perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional. Sedangkan dalam UU No.32/2004 urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah Daerah hanya terbatas pada yang di sebutkan dalam (Ps. 10 ayat 3) yaitu: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, agama.

 

 

 

 

 

GARIS PANGKAL LURUS KEPULAUAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.     Deskriptif

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah  suatu negara yang wilayahnya terdiri dari banyak pulau yang tersebar di sepanjang wilayah teritorialnya sehingga disebut sebagai Negara Kepulauan (archipelagic state).  Awal perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan wilayah kepulauannya (terdiri dari wilayah pulau-pulau dan perairan di sekitar pulau-pulau tersebut) adalah dicetuskannyaDeklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Isi dari Deklarasi Juanda sendiri antara lain sebagai berikut :

1.)      Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut (low water line), tetapi pada sistem penarikan garis lurus (straight base line) yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI.

2.)      Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut.

3.)      Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) sebagai rezim Hukum Internasional, di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi.

Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional.

Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda selanjutnya diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia. Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus (straight baselines) dari titik pulau terluar ( kecuali Irian Jaya ), terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut.

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun 1982 deklarasi ini dapat diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU  Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN MATERI

 

2.     Pengertian dan Kedaulatan Negara Kepulauan.

Pasal 46 Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS) memberikan definisi negara kepulauan sebagai berikut :

(a)    “Negara kepulauan” berarti suatu Negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain

(b)   “kepulauan” berarti suatu gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sehingga pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya itu merupakan suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik yang hakiki, atau yang secara historis dianggap sebagai demikian.

Kedaulatan suatu negara kepulauan meliputi pula perairan yang ditutup oleh garis pangkal lurus kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS yang disebut dengan perairan kepulauan (archipelagic waters). Tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai (Pasal 49 ayat (1) UNCLOS). Kedaulatan tersebut meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya(Pasal 49 ayat (2) UNCLOS). Hal ini berarti di antara pulau-pulau kita tidak ada laut bebas, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia boleh menarik garis pangkal (baselines-nya) dari titik-titik terluar pulau-pulau terluar

3.     Garis Pangkal Lurus Kepulauan (Archipelagic Straight Base Line).

Garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight base line)merupakan garis pangkal yang digunakan untuk menentukan batas-batas wilayah dari suatu negara kepulauan. Konvensi Hukum Laut PBB 1982 memberikan hak bagi negara kepulauan untuk menarik garis pangkal kepulauan sebagaimana telah diatur oleh Pasal 47 ayat (1-9) UNCLOS, yaitu sebagai berikut:

(1)     Suatu Negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar pulaupulau dan karang kering terluar kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa didalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu.

(2)     Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil laut, kecuali bahwa hingga 3% dari jumlah seluruh garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu kepanjangan maksimum 125 mil laut.

(3)     Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfirgurasi umum kepulauan tersebut.

(4)     Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.

(5)     Sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.

(6)     Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di antara dua bagian suatu Negara tetangga yang langsung berdampingan, hak-hak yang ada dan kepentingan-kepentigan sah lainnya yang dilaksanakan secara tradisional oleh Negara tersebut terakhir di perairan demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara Negara-negara tersebut akan tetap berlaku dan harus dihormati.

(7)     Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan berdasarkan ketentuan ayat 1, daerah daratan dapat mencakup di dalamnya perairan yang terletak di dalam tebaran karang, pulau-pulau dan atol, termasuk bagian plateau oceanik yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di atas permukaan laut yang terletak di sekeliling plateau tersebut.

(8)     Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.

(9)     Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis demikian dan harus mendepositkan satu salinan setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Dari garis pangkal lurus kepulauan ini, maka suatu negara kepulauan dapat menarik lebar laut wilayahnya, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinennya ke arah laut lepas. Ketentuan dalam Pasal 47 UNCLOS tersebut telah diundangkan dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia untuk menggantikan UU Prp No 4/1960 sebagai implementasi UNCLOS 1982 dalam hukum nasional kita.

 

3.1.                         Garis Pangkal Lurus Kepulauan Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2002tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia, oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerbitkan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan diatur dalam Pasal 3 ayat (1-7), yaitu:

(1)     Di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan.

(2)     Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan.

(3)     Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak boleh melebihi 100 (seratus) mil laut, kecuali bahwa 3% (tiga per seratus) dari jumlah keseluruhan Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga maksimum 125 (seratus dua puluh lima) mil laut.

(4)     Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan.

(5)     Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari Garis Air Rendah pulau terdekat.

(6)     Perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Perairan Kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar Garis Pangkal Lurus Kepulauan tersebut adalah Laut Teritorial.

(7)     Daftar Titik-titik Koordinat Geografis yang ditetapkan dengan lintang dan bujur geografis, memiliki arti dan peran yang sangat penting untuk penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia, dari garis pangkal kepulauan Indonesia inilah selanjutnya antara lain dapat diukur lebar laut teritorial Indonesia 12 mil laut.

 

3.2.                         Garis Pangkal Lurus Kepulauan Berdasarkan PP No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP No. 38 Tahun 2002tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Meskipun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4211), namun berdasarkan keputusan The International Court of Justice (ICJ)  pada tanggal 17 Desember 2002 yang menyatakan bahwa Kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan dimiliki oleh Malaysia, meskipun secara hukum  kita hanya punya hak berdaulat di sana.

Disamping itu, sebagai akibat dari diakuinya oleh Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia atas hasil pelaksanaan penentuan pendapat yang diselenggarakan di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur. Serta tidak berlakunya lagi Ketetapan Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia mengalami perubahan terutama pada bagian lampirannya. Sehingga ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

4.     Hak Lintas Alur Laut Kepulauan (The Right of Arxhipelagic Sea Lanes Passage).

Hak lintas kepulauan  merupakan hak lintas kapal-kapal asing melalui alur-alur laut (sea lanes) dan lintas penerbangan di atas alur-alur laut tersebut, yang berada di bawah kedaulatan suatu negara kepulauan. Hak ini telah lahir bersamaan dengan diterimanya prinsip Negara kepulauan dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982.

Ketentuan mengenai hak lintas alur laut kepulauan tidak membedakan ketentuan yang berlaku umum dan yang khusus untuk kapal tertentu, sebagaimana dalam ketentuan mengenai hak lintas damai. Hasil kompromi yang telah berhasil dicapai, yang dimuat dalam Pasal 53 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa :

a.         Semua kapal dan pesawat udara dapat menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut kepulauan dan rute penerbangan di atas alur laut tersebut (Pasal 53 ayat (2) ).

b.        Lintas alur laut kepulauan merupakan pelaksanaan hak pelayaran dan penerbangan, yang dilakukan dengan cara-cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus menerus, langsung dan secepat mungkin serta tidak terhalang antara satu bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya (Pasal 53 ayat(3) ). Ketentuan ini berbeda dengan hak lintas damai yang hanya memberikan hak lintas pada kapal laut dan tidak memberikan hak lintas penerbangan pada pesawat udara.

c.         Diberikannya kewenangan pada negara kepulauan untuk menentukan alur laut dan rute penerbangan, yang merupakan keleluasaan untuk menentukan bagian wilayah perairan kepulauannya, yang dapat dilewati kapal asing yang akan melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan. Demikian pula untuk menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk kepentingan lintas kapal yang aman melalui terusan yang sempit di dalam alur laut. Apabila Negara kepulauan tidak menentukan alur laut dan rute penerbangan, maka hak lintas alur laut kepulauan akan dilaksanakan melalul alur-alur laut yang biasa digunakan untuk pelayaran internasional (Pasal 53 ayat (3) jo ayat (6) jo ayat (12) ).

d.        Diberikannya kewenangan kepada negara kepulauan untuk mengganti alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkannya, apabila memang diperlukan dan setelah diumumkan sebagaimana mestinya (Pasal 43 ayat (7) ).

e.         Dalam menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas tersebut, suatu negara kepulauan harus mengajukan usul-usul kepada organisasi internasional yang berwenang (IMO/Intenational Maritime Organization), sehingga hasilnya merupakan persetujuan bersama antara Negara kepulauan dengan IMO (Pasal 53 ayat (9) ).

f.         Alur laut dan rute penerbangan yang akan ditentukan, selain harus melintasi perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdampingan, juga harus mencakup semua rute lintas normal yang biasa digunakan untuk pelayaran atau penerbangan internasional, sebelum perairan tersebut menjadi  perairan kepulauan (Pasal 53 ayat (4) ).

g.        Alur laut dan rute penerbangan demikian harus ditentukan dengan suatu rangkaian garis sumbu yang bersambungan mulai dari tempat masuk rute lintas hingga tempat ke luar. Kapal dan pesawat udara yang melakukan lintas melalui alur laut kepulauan tidak boleh menyimpang lebih dari pada 25 mil laut ke dua sisi garis sumbu demikian, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10% jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut (Pasal 52 ayat (5) ). Dengan digunakannya garis sumbu ini, alur laut tidak digambarkan sebagai suatu koridor, yang dibatasi kedua tepinya seperti jalan raya di wilayah darat.

h.        Negara kepulauan harus dengan jelas menunjukkan sumbu-sumbu alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta-peta yang harus diumumkan sebagaimana mestinya (Pasal 53 ayat (10) ).

Kapal dan pesawat udara yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, harus mematuhi kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dalam Pasal 39 ayat (1) UNCLOS 1982, yaitu :

(1)     lewat dengan cepat melalui atau di atas selat.

(2)     menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan kekerasan apapun terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara yang berbatasan dengan selat, atau dengan cara lain apapun yang melanggar asas-asas hukum internasional yang tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(3)     menghindarkan diri dari kegiatan apapun selain transit secara terus menerus langsung dan secepat mungkin dalam cara normal kecuali diperlukan karena force majeure atau karena kesulitan.

(4)     memenuhi ketentuan lain Bab ini yang relevan.

Khusus untuk kapal asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, maka Pasal 39 ayat (2) UNCLOS 1982 memberikan kewajiban untuk :

(1)     memenuhi peraturan hukum internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang keselamatan di laut termasuk Peraturan Internasional tentang Pencegahan Tubrukan di Laut.

(2)     memenuhi peraturan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktek tentang pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal.

Sedangkan untuk pesawat udara asing yang melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan, maka Pasal 39 ayat (3) UNCLOS 1982 memberikan kewajiban untuk :

(1)     mentaati Peraturan Udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (International Civil Aviation Organization) sepanjang berlaku bagi pesawat udara sipil; pesawat udara pemeritah biasanya memenuhi tindakan keselamatan demikian dan setiap waktu beroperasi dengan mengindahkan keselamatan penerbangan sebagimana mestinya.

(2)     setiap waktu memonitor frekwensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau oleh frekwensi radio darurat internasional yang tepat.

Hak negara kepulauan adalah berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan yang terbatas hanya pada empat masalah utama, yaitu :

a.       pelayaran;

b.      pencegahan dan pengendalian pencemaran;

c.       pencegahan penangkapan ikan;

d.      bea cukai, fiscal, imigrasi dan saniter.

Hal di atas ditentukan dalam Pasal 42 ayat (1) UNCLOS 1982, yaitu bahwa negara kepulauan berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lintas alur laut kepulauan melalui perairan kepulauan mengenai semua atau setiap hal sebagai berikut :

(1)     keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas di laut.

(2)     pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan melaksanakan peraturan internasional yang berlaku, tentang pembuangan minyak, limbah berbahaya dan bahan beracun lainnya.

(3)     Berkaitan dengan kapal penangkap ikan, pencegahan penangkapan ikan, termasuk cara penyimpanan alat penangkap ikan.

(4)     menaikkan ke atas kapal atau menurunkan dari kapal setiap komoditi, mata uang atau orang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara kepulauan.

Didalam menetapkan peraturan perundang-undangan mengenai alur laut kepulauan, maka negara kepulauan tidak diperkenankan untuk bersikap diskriminatif baik secara formil maupun diskriminasi nyata diantara kapal asing. Hal itu berarti tidak boleh membeda-bedakan pengaturan bagi kapal-kapal atau pesawat udara asing antara yang satu dengan yang lainnya, yang akan berakibat dalam prakteknya yang menolak, menghambat atau mengurangi hak lintas alur laut kepulauan bagi kapal atau pesawat udara asing.

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Negara Kesatuan Republik Indonesia  (NKRI) adalah Negara Reublik yang wilayahnya terdiri dan tersusun atas beribu-ribu pulau dan perairan yang mengelilingi dan berada di sekitar pulau-pulau tersebut, sehingga atas dasar wilayah tersebutlah Indonesia termasuk sebagai negara kepulauan.  Para pendiri bangsasudah sejak lama menyatakan berbagai wilayah negara Indonesia. Dr. Soepomomenyatakan Indonesia meliputi batas Hindia Belanda, Muh. Yamin menyatakan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku - Ambon, Semenanjung Melayu, Timor, Papua. Sedangkan Ir. Soekarno menyatakan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Namun harapan para pendiri bangsa tersebut baru bisa terwujud ketika pada tahun 1982 negara-negara anggota PBB mengadakan Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982). Melalui konvensi tersebut akhirnya wilayah NKRI menjadi “genap dan utuh” secara hukum internasional setelah disetujuinya peraturan perairan bagi negara kepulauan. Meskipun sebelumnya pada tanggal 13 Desember 1957 dicetuskanDeklarasi Djuanda, tetapi hal itu belumlah memiliki kekuatan yang cukup di bidang internasional. Sehingga pengaturan wilayah laut di Indonesia di dunia internasional masih tetap berdasarkan Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai.

Kini, 29 tahun setelah UNCLOS 1982 kita telah memilki berbagai macam peraturan perundan-undangan yang mengatur tentang wilayah laut di Indonesia, diantaranya UU  Nomor 17 Tahun 1985,UU Nomor 6 Tahun 1996, PP Nomor 38 Tahun 2002, dan PP Nomor 37 Tahun 2008. Akan tetapi kita tidak belajar dari kesalahan, hal ini dibuktikan dengan lepasnya hak berdaulat atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan yang kemudian menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan The International Court of Justice (ICJ)  pada tanggal 17 Desember 2002. Semoga di waktu yang akan dating kita tidak akan mengulangi kesalahan yang sama…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

A.    BUKU :

 

·      Lazarus Tri Setyawanta R, Pokok-pokok Hukum Laut Internasional, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007.

·      Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1978.

·      Dewan Kelautan Indonesia,  Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat Jenderal Satuan kerja Dewan Kelautan Indonesia, Jakarta, 2008.

 

B.     PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

 

 

·         Naskah Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).

·         Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

·         Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

 

 

 

 

C.    INTERNET :

 

 

·         http//:kantongteh.wordpress.com

·         http//:wikipedia.org

·         http//:www.google.com

·         http//www. replubika.com

EKSISTENSI INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

Latar Belakang

            Jauh sebelum masa kemerdekaan, Indonesia ternyata sudah dikenal dunia sebagai sebagai Bangsa yang memiliki Peradaban maritim maju. Bahkan, bangsa ini pernah mengalami masa keemasan pada awal abad ke-9 Masehi. Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Dengan alat navigasi seadanya, mereka telah mamapu berlayar ke utara, lalu ke barat memotong lautan Hindia hingga Madagaskar dan berlanjut ke timur hingga Pulau Paskah. Dengan kian ramainya arus pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

            Memasuki masa kerajaan Sriwijaya, Majapahit hingga Demak, Nusantara adalah negara besar yang disegani di kawasan Asia, maupun di seluruh dunia. Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya (683-1030 M) telah mendasarkan politik kerajaannya pada penguasaan alur pelayaran dan jalur perdagangan serta menguasai wilayah-wilayah strategis yang digunakan sebagai pangkalan kekuatan lautnya. Tidak hanya itu, Ketangguhan maritim kita juga ditunjukkan oleh Singasari di bawah pemerintahan Kertanegara pada abad ke-13. Dengan kekuatan armada laut yang tidak ada tandingannya, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi bahari ke Kerajaan Melayu dan Campa untuk menjalin persahabatan agar bersama-sama dapat menghambat gerak maju Kerajaan Mongol ke Asia Tenggara. Tahun 1284, ia menaklukkan Bali dalam ekspedisi laut ke timur.

            Puncak kejayaan maritim nusantara terjadi pada masa Kerajaan Majapahit (1293-1478). Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, Majapahit berhasil menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China. Kilasan sejarah itu tentunya memberi gambaran, betapa kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah nusantara dan disegani bangsa lain karena, paradigma masyarakatnya yang mampu menciptakan visi Maritim sebagai bagian utama dari kemajuan budaya, ekonomi, politik dan sosial. Tentu saja, Sejarah telah mencatat dengan tinta emas bahwasannya Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia.

            Fakta sejarah lain yang menandakan bahwa Bangsa Indonesia terlahir sebagai bangsa Maritim dan tidak bisa dipungkiri, yakni dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah dibeberapa belahan pulau. Penemuansitus prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang dipenuhi oleh lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut, selain itu ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain yang tentunya menggunakan kapal-kapal yang laik layar.

            Namun, ironisnya dalam perjalanan kedepan bangsa Indonesia, Visi mritim Indonesia seperti jauh ditenggelamkan. Pasalnya, sejak masa kolonial Belanda abad ke -18, masyarakat Indonesia mulai dibatasi untuk berhubungan dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda, padahal sebelumnya telah muncul beberapa kerajaan maritim nusantara, seperti Bugis-Makassar, Sriwijaya, Tarumanegara, dan peletak dasar kemaritiman Ammana Gappa di Sulawesi Selatan.  Belum lagi, pengikisan semangat maritim Bangsa ini dengan menggenjot masyarakat untuk melakukan aktivitas agraris demi kepentingan kaum kolonialis semata. Akibatnya, budaya maritim bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali Indonesia sebagai bangsa maritim. Akibatnya, dalam era kebangkitan Asia Pasifik, pelayaran nasional kita kalah bersaing dengan pelayaran asing akibat kurangnya investasi.

            Patut disadari, bahwa kejayaan para pendahulu negeri ini dikarenakan kemampuan mereka membaca potensi yang mereka miliki. Ketajaman visi dan kesadaran terhadap posisi strategis nusantara telah membawa negara ini disegani oleh negara-negara lain. Maka, sudah saatnya, bagi kita yang sudah tertinggal jauh dengan negara lainnya, untuk kembali menyadari dan membaca ulang narasi besar maritim Indonesia yang pernah diikrarkan dalam Unclos 1982. Didalamnya banyak termaktub peluang besar Indonesia sebagai negara kepulauan. Namun, lagi-lagi lemahnya perhatian dan keberpihakan pemerintah terhadap kemaritiman yang didalamnya mencakup, keluatan, Pesisir, dan perikanan, maka beberapa kerugian yang didapatkan. Seperti lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 dengan alasan “ineffective occupation” atau wilayah yang diterlantarkan.

            Minimnya keberpihakan kepada sektor maritim (maritime policy) salah satunya menyebabkan masih semrawutnya penataan selat Malaka yang sejatinya menjadi sumber devisa; hal lainnya adalah pelabuhan dalam negeri belum menjadi international hub port, ZEE yang masih terlantar, penamaan dan pengembangan pulau-pulau kecil, terutama di wilayah perbatasan negara tidak kunjung tuntas, serta makin maraknya praktik illegal fishing, illegal drug traficking, illegal people, dan semakin meningkatnya penyelundupan di perairan Indonesia. Padahal, sejatinya posisi strategis Indonesia banyak memberikan manfaat, setidaknya dalam tiga aspek, yaitu; alur laut kepulauan bagi pelayaran internasional (innocent passage, transit passage, dan archipelagic sea lane passage) berdasarkan ketentuan IMO; luas laut territorial yang dilaksanakan sejak Deklarasi Djuanda 1957 sampai dengan Unclos 1982 yang mempunyai sumberdaya kelautan demikian melimpah; dan sumber devisa yang luar biasa jika dikelola dengan baik.

            Terkait dengan visi pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan merata, tentunya, seiring dengan tujuan tersebut, maka dibutuhkan kemampuan pertahanan dan keamanan yang harus senantiasa ditingkatkan agar dapat melindungi dan mengamankan hasil pembangunan yang telah dicapai. Karena, pemanfaatan potensi sumber daya nasional secara berlebihan dan tak terkendali dapat merusak atau mempercepat berkurangnya sumber daya nasional.

            Pesatnya perkembangan teknologi dan tuntutan penyediaan kebutuhan sumber daya yang semakin besar mengakibatkan sektor laut dan pesisir menjadi sangat penting bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu, perubahan orientasi pembangunan nasional Indonesia ke arah pendekatan maritim merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak. Wilayah laut harus dapat dikelola secara profesional dan proporsional serta senantiasa diarahkan pada kepentingan asasi bangsa Indonesia. Beberapa fungsi laut yang harusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan berbasis maritim adalah; laut sebagai media pemersatu bangsa, media perhubungan, media sumberdaya, media pertahanan dan keamanan sebagai negara kepulauan serta media untuk membangun pengaruh ke seluruh dunia.

Oleh karena itu, sebagai suatu langkah yang konkrit, dibutuhkan semangat yang konsisten dan kerja-kerja nyata demi mengembalikan kejayaan maritim bangsa Indonesia. Tentunya, juga diperlukan suatu gerakan moral untuk terus mengumandangkan semangat maritim ini pada semua lapisan masyarakat Indonesia untuk kembali menyadari keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sebuah gerakan yang berintegritas tinggi UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA MARITIM TERBESAR DI DUNIA. Tentunya Mengembalikan semangat maritim itu tidak mudah, diperlukan upaya yang serius dari semua elemen bangsa. Namun, bukan mustahil jika Indonesia Maritime Institute, akan menjadi pelopor dari gerakan mengembalikan sejarah keemasan Indonesia sebagai bangsa yang ber-Visi maritim. Karena harus disadari, bagaimanapun gagasan ini lahir dari sebuah realita kehidupan masyarakat Indonesia yang sebenarnya lebih banyak bersentuhan langsung dengan dunia maritim. Mereka hidup dan beninteraksi langsung dengan kekayaan sumberdaya laut yang begitu besar. Tapi tragis, sekian lama kehidupan mereka sangat memprihatinkan. Dari generasi ke generasi mereka selalu mendapat predikat masyarakat miskin. Inilah potret masyarakat maritim yang seharunya menjadi garda terdepan pembangunan nasional Indonesia yang secara de fakto berada pada suatu wilayah dengan luas lautan 75 persen dari luas wilayahnya dan merupakan negara kepualaun terbesar di dunia.

            Disamping itu, keterpurukan bangsa Indonesia yang mulai dirasakan sekarang ini karena kebijakan pembangunan nasional yang sekian tahun berorintasi ke continental based, padahal potensi dan realita sebagai Negara Kepulauan harusnya visi maritime menjadi landasan utama dalam menetukan arah kebijakan pembangunan nasional.


 

Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia, yang 2/3 wilayahnya merupakan wilayah lautan

            Indonesia merupakan negara maritim atau kepulauan terbesar didunia, antara pulau satu dengan pulau lainnya dipisahkan oleh laut, tapi bukanlah menjadi penghalang bagi setiap suku bangsa di Indonesia untuk saling berhubungan dengan suku-suku di pulau lainnya. Sejak zaman bahari, pelayaran dan perdagangan antar pulau telah berkembang dengan menggunakan berbagai macam tipe perahu tradisional, nenek moyang kita menjadi pelaut-pelaut handal yang menjelajahi untuk mengadakan kontak dan interaksi dengan pihak luar. Bahkan, yang lebih mengejutkan lagi, pelayaran yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia (Nusantara) pada zaman bahari telah sampai ke Mandagaskar. Bukti dari berita itu sendiri adalah berdasarkan penelitian yang dilakukan yaitu tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan untuk berlayar “Fantastis”. Pada zaman bahari telah menjadi Trade Mark bahwa Indonesia merupakan negara maritim. Indonesia merupakan negara maritim yang mempunyai banyak pulau, luasnya laut menjadi modal utama untuk membangun bangsa ini. Indonesia adalah “Negara kepulauan”, Indonesia adalah “Nusantara”, Indonesia adalah “Negara Maritim” dan Indonesia adalah “Bangsa Bahari”,”Berjiwa Bahari” serta “Nenek Moyangku Orang Pelaut” bukan hanya merupakan slogan belaka,
Laut dijadikan ladang mata pencaharian, laut juga dijadikan sebagai tempat menggalang kekuatan, mempunyai armada laut yang kuat berarti bisa mempertahankan kerajaan dari serangan luar. Memang, laut dalam hal ini menjadi suatu yang sangat penting sejak zaman dahulu sampai zaman sekarang. Dengan mengoptimalkan potensi laut menjadikan bangsa Indonesia maju karena Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya.

            Melihat bagaimana kejayaan masa lampau diperoleh karena mengoptimalkan potensi laut sebagai sarana dalam suksesnya perekonomian dan ketahanan politik suatu negara, maka menjadi suatu hal yang wajar bila sekarang ini Indonesia harus lebih mengembangkan laut demi tercapianya tujuan nasional. Indonesia menyandang predikat “Negara Maritim” atau negara kepulauan,

            Konsekwensi sifat maritim itu sendiri lebih mengarah pada terwujudnya aktifitas pelayaran di wilayah Indonesia. Dalam kalimat ini bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan dalam membangun perekonomian akan senantiasa dilandasi oleh aktivitas pelayaran. Pentingnya pelayaran bagi Indonesia tentunya disebabkan oleh keadaan geografisnya, posisi Indonesia yang strategis berada dalam jalur persilangan dunia, membuat Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk mengembangkan laut. Laut akan memberikan manfaat yang sangat vital bagi pertumbuham dan perkembangan perekonomian Indonesia atau perdaganagan pada khususnya.

 

 

Perkembangan Wilayah Administrasi Indonesia

Pada awalnya berdiri negara kesatuan Republik Indonesia terdiri atas 8 provinsi yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 19 Agustus 1945 yaitu sebagai berikut:
            1. Sumatra
            2. Jawa Barat
            3. Jawa Tengah
            4. Jawa Timur
            5. Sunda Kecil (kepulauan Nusa Tenggara)
            6. Kalimantan
            7. Sulawesi
            8. Maluku
Pada tahun 1950, provinsi di Indonesia jumlahnya 11. Hasil pemekaran dari Provinsi Sumatra yaitu Provinsi Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Provinsi Jawa Tengah dimekarkan menjadi Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perkembangan jumlah provinsi di Indonesia adalah sebagai berikut :
            • Pada tahun 1956, jumlah provinsi di Indonesia adalah 15 provinsi.
            • Pada tahun 1957,jumlah provinsi di Indonesia ada17 provinsi.
            • Pada tahun 1958, provinsi di Indonesia berjumlah 20 provinsi.
            • Pada tahun 1959, provinsi di Indonesia berjumlah 20 provinsi.
            • Pada tahun 1960, provinsi di Indonesia berjumlah 21 provinsi.
            • Pada tahun 1967, provinsi di Indonesia berjumlah 25 provinsi.
            • Pada tahun 1969, provinsi di Indonesia berjumlah 26 provinsi.
            • Pada tahun 1976 , Timor Timur bergabung dengan Indonesia dan menjadi provinsi  ke 27.
            • Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara.
            • Pada tahun 2000, Provinsi di Indonesia berjumlah 32 provinsi.
            • Pada tahun 2002,Provinsi di Indonesia berjumlah 33 provinsi.
            • Pada tahun 2004,Provinsi di Indonesia berjumlah 33 provinsi.
Wilayah Laut Indonesia
            Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah lautan yang cukup luas. Wilayah daratannya terdiri dari beribu-ribu pulau. Indonesia merupakan negara kepulauan terluas di dunia, dengan ribuan pulau yang tersebar di khatulistiwa terletak pada posisi silang yang sangat strategis, yang berada di Benua Asia dan Australia serta Samudra Hindia dan Pasifik. Wilayah Indonesia pada saat proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 masih mengikuti Territoriale Zee en Maritieme Ordonantie tahun 1939. Lebar laut wilayah Indonesia 3 mil diukur dari garis air terendah dari masing-masing pantai pulau Indonesia, penetapan tersebut tidak menjamin kesatuan wilayah NKRI. Hal ini lebih terasa lagi bila dihadapkan pada pergolakan-pergolakan dalam negeri pada saat itu. Mengingat keadaan lingkungan alamnya, persatuan bangsa dan kesatuan wilayah negara menjadi tuntunan utama bagi terwujudnya kemakmuran dan keamanan. Atas pertimbangan tersebut, maka dikeluarkan Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa letak geografis Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa demi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan negara yang ada di dalamnya, pulau-pulau serta laut yang ada harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, yang ditetepkan UU No:4/Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.
            Sejak tahun 1960 luas wilayah berubah dari + 2 juta km2 menjadi + 5 juta km2, dengan 65 % wilayahnya terdiri atas laut atau perairan. Perairan laut Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional di Jamaika tahun 1982 dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
1. Batas laut teritorial yaitu 12 mil dari titik terluar sebuah pulau ke laut bebas,. Berdasarkan batas tersebut, negara Indonesia memiliki kedaulatan atas air, bawah laut, dasar laut, dan udara di sekitarnya termasuk kekayaan alam di dalamnya.
2. Batas landas kontinen sebuah negara paling jauh 200 mil dari garis dasar ke laut bebas dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter. Ladas kontinen adalah dasar laut dari arah pantai ke tengah laut dengan kedalaman tidak lebih dari 200 meter.
3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) ditarik dari titik terluar pantai sebuah pulau sejauh 200 mil. Dengan bertambahnya luas perairan Indonesia, maka kekayaan alam yang terkandug di dalamnya bertambah pula. Oleh karena itu, Indonesia bertanggung jawab untuk melestarikan dan melindungi sumber daya alam dari kerusakan.
Peta Wilayah Laut Indonesia Berdasarkan Konvensi Hukum Laut Internasional di Jamaika tahun 1982 perairan laut teritorial Indonesia terdiri atas tiga bagian yaitu laut teritorial, batas landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Selain ketiga wilayah perairan laut masih ada wilayah ini berbeda di dalam dan di antara Kepulauan Indonesia. Contoh wilayah perairan ini misalnya Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Makasar, dan Laut Banda.
Untuk kepentingan persahabatan antar negara maka dlam konvensi Hukum Laut Internasional ditetapkan adanya lintas damai melalui laut teritorial. Yang dimaksud lintas damai adalah jalur wilayah laut teritorial yang boleh digunakan oleh pihak asing sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban, dan keamanan negara yang berdaulat.
Laut selain berfungsi sebagai penghubung wilayah satu dengan yang lain dalam memperlancar hubungan transportasi, juga kekayaan yang terkandung di dalamnya sangat menopang kehidupan rakyat. Potensi yang ada di laut dapat menimbulkan masalah apabila pengelolaannya tanpa memperhatikan lingkungan.
Untuk mencegah kerusakan lingkungan laut maka beberapa usaha yang dapat dilakukan adalah :
            1. Membatasi penggunaan beberapa macam alat penangkapan ikan.
            2. Alat penangkap ikan berupa pukat harimau dilarang guna melindungi berbagai ikan tertentu.
            3. memperhatikan daerah, jalur, dan musim penangkapan.
            4. Mencegah pencemaran dan kerusakan, melakukan rehabilitasi, dan budidaya sumber daya ikan.
            5. Membatasi daerah penangkapan.
            6. Pengelolaan sumber daya alam dengan pendekatan lingkungan. Sumber daya alam harus digunakan secara nasional, tidak merusak lingkungan hidup, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh, dan memperhatikan generasi yang akan datang.
            7. Membuat undang-undang untuk melindungi penyu dan melindungi pantai tempat penyu bertelur.
            8. Mengeluarkan PP No. 17 tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di daerah lepas pantai untuk menjaga terpeliharanya lingkungan laut.


            [1]Bentuk dan susunan Undang - Undang No. 4 Prp., tahun 1960 sangat sederhana dan hanya terdiri dari empat buah pasal. Undang - Undang ini pada hakekatnya merobah cara penetapan laut wilayah Indonesia dari suatu cara penetapan laut wilayah selebar 4 mil diukur dari garis pasang surut atau garis air rendah (low-water line) menjadi laut wilayah selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus yang ditarik dari ujung ke ujung. Seluruhnya ada 200 titik pangkal yang dihubungkan oleh 196 buah garis pangkal lurus (straight base lines) dengan jumlah panjang seluruhnya sebesar 8.069,8 mil laut.

Penarikan garis - garis pangkal lurus dari ujung ke ujung dari pulau - pulau terluar nusantara ini mempunyai dua akibat :

Jalur laut wilayah yang terjadi karenanya melingkari kepulauan

Perairan yang terletak pada sebelah dalam garis pangkal berobah statusnya dari laut wilayah atau laut lepas (high seas) menjadi perairan pedalaman. Agar supaya perobahan status ini tidak mengganggu hak lalu lintas kapal asing yang telah ada sebelum cara penetapan batas laut wilayah. Maka Pasal 3 menyatakan bahwa perairan pedalaman tadi terbuka bagi lalu lintas damai kendaraan air asing. Secara teknis hukum atau perundang - undangan perobahan yang diadakan dengan pasal 1 Undang - Undang No. 4 PrP., tahun 1960 ini sebenarnya tidak seberapa yaitu hanya merobah Pasal 1 ayat angka 1 sampai dengan 4 dari "Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939", (Staatsblad 1939 No. 442) saja. Tetapi perobahan yang diakibatkannya pada struktur dan luas wilayah yang jatuh dibawah kedaulatan negara Indonesia sangat besar. Menurut perhitungan yang kasar cara penetapan batas perairan Indonesia cara diatas, menjadikan luas wilayah negara Indonesia yang tadinya 2,027,087 Km (daratan) menjadi kurang lebih 5,193,250 Km (darat dan laut). Jadi suatu penambahan wilayah berupa perairan nasional (laut) sebesar kurang lebih 3,166,163 Km.

Azas Nusantara (azas negara kepulauan Indonesia dan kaitannya dengan Wawasan Nusantara)

a. Setelah mengikuti sejarah lahirnya azas negara nusantara yang dimulai dengan Deklarasi Juanda di tahun 1957 dan mengikuti perkembangan selanjutnya hingga diundangkannya Undang - Undang No. 4 Prp., tahun 1960, kiranya baik untuk dijelaskan arti daripada azas negara kepulauan ini.

Selain penting dari sudut pertahanan dan politik, azas negara kepulauan, yang dengan Undang - Undang No. 4 Prp., 1960 telah menjadikannya kenyataan bagi Negara Republik Indonesia, mempunyai arti penting pula dipandang dari sudut ekonomi. Dengan menyatakan kedaulatannya atas segala perairan yang terdapat disekitar dan diantara pulau - pulau Indonesia, kita telah dengan sekaligus menyatakan bahwa segala kekayaan alam baik mineral, hayati maupun nabati menjadi milik nasional kita. Termasuk pula dalamnya energi baik yang merupakan kekayaan alam (mineral resource) seperti minyak dan gas bumi maupun energi yang mungkin dibangkitkan oleh tenaga alam.

Azas negara kepulauan ini juga memberikan dasar atau landasan yang kuat bagi kebijaksanaan perhubungan dan pengangkutan nasional Indonesia, baik di laut dengan memberikan dukungan fisik yang jelas pada prinsip "cabotage", maupun pengangkutan dan perhubungan udara.

Kesatuan antara pulau - pulau dan laut disekitarnya yang dinyatakan oleh azas nusantara ini dan pengakuan kesatuan yang hakiki antara kehidupan di darat dan di laut di kepulauan nusantara yang terkandung didalamnya, memberikan yang sangat kuat pada kebijaksanaan nasional Indonesia tentang pengelolaan lingkungan laut nusantara.

b. Azas nusantara yang mendasari azas negara kepulauan ini penting bagi pemeliharaan keutuhan dan persatuan ABRI dan telah banyak membantu pimpinan ABRI dan pimpinan negara dipertengahan kedua tahun enampuluhan untuk mengatasi kecenderungan angkatan - angkatan untuk menempuh jalan sendiri masing - masing sebagai akibat perkembangan politik dalam negeri yang kritis pada waktu itu. Tekad persatuan dan kesatuan bangsa yang mendasari azas nusantara, ternyata memberikan sumbangan yang besar bagi upaya mengatasi bahaya perpecahan yang timbul waktu itu karena angkatan - angkatan yang menempuh jalannya sendiri - sendiri, dengan wawasannya masing - masing. Krisis ini dapat diatasi dan lahirlah Wawasan Nusantara dengan ABRI yang bersatu padu dan berintegrasi.

Dari uraian diatas jelas kiranya betapa penting artinya azas negara nusantara ini bagi segala segi kehidupan negara dan bangsa kita. Karenanya tidaklah mengherankan apabila MPR di tahun 1973 telah menetapkan Wawasan Nusantara sebagai wawasan yang menghayati pembangunan nasional dalam segala seginya : politik, ekonomi, sosial budaya, maupun hankam.

c. Apabila dinyatakan apa kaitannya antara azas nusantara, yang dalam hukum laut internasional berwujud dalam konsepsi negara kepulauan atau konsepsi negara nusantara (negara kepulauan Indonesia), dan Wawasan Nusantara maka jawabannya adalah suatu konsepsi negara nusantara merupakan terutama suatu konsepsi kewilayahan nasional, sedangkan wawasan nusantara merupakan suatu cara pandang kesatuan politik daripada bangsa dan negara yang mencakup kenyataan geografi wilayah negara sebagai suatu negara kepulauan. Dapat juga dikatakan bahwa pengertian kesatuan tanah dan air yang terkandung dalam konsepsi negara nusantara merupakan wadah fisik bagi pengembangan wawasan nusantara.

Munculnya azas nusantara ini sebagai konsepsi negara kepulauan dalam hukum laut dan tumbuh bekembangnya konsepsi negara kepulauan sebagai perwujudan azas nusantara ini merupakan suatu peristiwa sejarah yang kelahirannya terdorong oleh kebutuhan politik waktu itu, karena itu tidak salah kiranya untuk memandang kebijaksanaan dan langkah - langkah yang ditempuh oleh Indonesia sejak tahun 1957 itu sebagai tindakan politik.

d. Arti konsepsi nusantara sebagai manifestasi pemikiran politik Indonesia telah dimantapkan dengan ditetapkannya Wawasan Nusantara sebagai dasar pokok daripada pelaksanaan GBHN dalam Ketetapan MPR No. IV Tahun 1973. Ditetapkannya wawasan nusantara yang antara lain menekankan pada prinsip kesatuan wilayah, bangsa dan negara yang memandang Indonesia sebagai suatu kesatuan yang meliputi tanah (darat) dan air (laut) secara tidak terpisahkan, merupakan tahapan terakhir daripada perkembangan konsepsi nusantara yang dimulai sejak akhir tahun 1957.

Kiranya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa dengan demikian usaha atau perjalanan bangsa Indonesia menemukan identitasnya kembali telah terlaksana. Hakekat kesatuan darat (tanah) dan laut (air) ini sebenarnya telah lama ada dalam kesadaran bangsa Indonesia. Hal ini tercermin dalam kata "tanah air", suatu istilah atau ungkapan yang tidak terdapat dalam bahasa lain.

Dilihat dari sudut ketatanegaraan ketetapan MPRS tersebut menguatkan apa yang sejak lahir tahun 1957 menjadi kebijaksanaan negara Republik Indonesia di bidang kewilayahan negara, khususnya wilayah perairannya, dan telah diundangkan sejak tahun 1960 (Undang - Undang No. 4 Prp., tahun 1960).

Wawasan Nusantara dalam pembangunan nasional

a. Perpaduan antara konsep ruang dan kesatuan memberikan implikasi bahwa Negara RI di dalam kesemestaannya merupakan kesatuan yang utuh ; dan ancaman terhadao satu kawasan laut akan diartikan sebagai ancaman nyata terhadap seluruh wilayah negara RI. Karena itulah pengukuhan internasional terhadap Azas Negara Kepulauan melalui Konvensi Hukum Laut adalah sangat kritis.

Wilayah nasional suatu negara merupakan modal dasar kodrati yang perlu didaya-gunakan semaksimal mungkin untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan dan keamanan bangsa. Kemajuan teknologi, berkurangnya sumber daya alam serta pertambahan jumlah penduduk telah menjadikan ruang dunia terasa relatif semakin sempit, sedangkan dilain pihak dirasakan pula bahwa politik kekuasaan negara maju sebaliknya semakin bersifat global. Karena itu setiap bangsa berusaha menjadikan wilayah nasionalnya masing - masing suatu ruang hidup yang mampu mendukung kepentingan nasionalnya, dimana perbatasan wilayah nasional tidak hanya mempunyai dimensi politik dan hukum semata - mata tetapi juga mempunyai dimensi ekonomi dan budaya bangsa.

Menyempitnya ruang dunia sebagaimana diuraikan diatas membuat aspek wilayah menjadi faktor yang makin penting didalam pembentukan posisi kekuasaan maupun politik kekuasaan yang mampu menjamin tegaknya kedaulatan, integritas wilayah serta kesatuan dan persatuan bangsa.

b. Wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia, merupakan inti dasar budaya bangsa Indonesia yang dilandasi oleh falsafah Pancasila serta kondisi dan posisi geografi wilayah Indonesia yang menentukan pola pikir dan tata laku bangsa dalam mewujudkan kehidupan nasional yang dikembangkan dengan menumbuhkan rasa tanggung jawab atas pemanfaatan lingkungannya. Dilain pihak Wawasan Nusantara, sebagai konsepsi geo-politik bangsa dan negara Indonesia dikembangkan untuk menegakkan kekuasaan guna melindungi kepentingan nasional serta merentangkan hubungan internasional dalam upaya ikut menegakkan ketertiban dunia.

Wawasan Nusantara mendasari dinamika bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional sebagaimana digariskan dalam Pembukaan UUD’45 yaitu :

di bidang politik, pertahanan dan keamanan : mempertahankan kemerdekaan dan menjamin kelanjutan kehidupan bangsa dan negara dan turut serta menegakkan perdamaian dunia ;

di bidang ekonomi : memajukan kesejahteraan umum dan keadilan sosial, dan

di bidang sosial budaya : mencerdaskan kehidupan bangsa

Berdasarkan Wawasan Nusantara yang telah saya jelaskan sejarah kelahiran, pertumbuhan (evolusi) serta artinya diatas itulah akan diusahakan suatu pendekatan terhadap kebudayaan nasional Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara.

Sebelum saya akhiri uraian mengenai wawasan nusantara sebagai pengertian persatuan dan kesatuan bangsa yang disesuaikan dengan kenyataan geografi Indonesia sebagai negara kepulauan, perlu dikemukakan bahwa tidak kurang pentingnya dalam proses pertumbuhan dan perkembangan wawasan nusantara ini adalah bertambah sempurnanya hubungan pengangkutan (transportation) dan komunikasi (communication) antar pulau yang telah berlangsung dari tahun ke tahun dan bagi sistim komunikasi antar pulau mencapai titik puncaknya dengan diadakannya komunikasi satelit domestik Indonesia yang melengkapi sistim komunikasi yang ada hingga waktu itu.

Adanya tekad bangsa Indonesia menjadi suatu bangsa walaupun hidup berserak di atas pulau - pulau yang beribu - ribu jumlahnya dan berbeda suku, ditambah dengan sistim alat perhubungan dan komunikasi yang memungkinkan yang berserakan itu menjadi satu dalam kenyataan menyebabkan bahwa nusantara merupakan suatu kenyataan dimana ia lebih daripada sekedar kumpulan daripada pelbagai suku bangsa yang berdiam dipelbagai pulau belaka.

Kesatuan (entity) inilah yang diikat oleh ideologi dan falsafah yang sama dan didorong oleh tekad untuk terus langsung hidup sebagai suatu bangsa dan negara yang dimaksudkan dengan nusantara.

IMPLEMENTASI WAWASAN NUSANTARA DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN TIMUR INDONESIA

Apabila kita memahami uraian dalam halaman - halaman terdahulu mengenai Wawasan Nusantara, kiranya akan jelas bahwa ia merupakan suatu konsep tentang kesatuan nasional bangsa Indonesia yang disatu pihak menunjukkan perlu adanya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang bertempat tinggal disuatu negara terdiri dari beribu - ribu pulau yang berserakan di khatulistiwa bagian timur ini, tetapi dipihak lain memperlihatkan kepekaan dan ketoleransi yang sangat tinggi terhadap kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi yaitu bahwa bangsa Indonesia terdiri dari banyak suku bangsa dengan tradisi, seni budaya bahkan dengan bahasa yang berlainan.

Keaneka ragaman budaya berbagai suku yang hidup di Indonesia ini digambarkan dengan motto yang kita miliki yaitu BHINEKA TUNGGAL IKA. Adanya keaneka ragaman dalam seni budaya tidak menghalangi terwujudnya cita - cita satu bangsa dan satu negara. Dengan perkataan lain didalam kehidupan budaya bangsa kita wawasan nusantara sudah dilaksanakan dengan nyata. Wawasan nusantara itu diartikan sebagai cara pandang bangsa Indonesia yang walaupun beraneka ragam budayanya dan hidup tersebar diantara beribu - ribu pulau di nusantara tetap melaksanakan tekadnya untuk hidup bersatu sebagai satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Untuk memantapkan keanekaragaman kehidupan budaya dalam persatuan dalam bangsa ini, Yayasan Nusantara Jaya dengan kerja sama dengan Departemen P & K, Dirjen Kebudayaan setiap tahun menyelenggarakan lokakarya orang - orang yang bekerja dalam permuseuman. Mereka mengadakan pertemuan untuk lebih mendalami lagi dan meningkatkan kemahiran dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan kemuseuman termasuk aspek - aspek administrasi dan manajemen museum.

Ternyata pertemuan dan lokakarya ini dirasakan sebagai sesuatu yang bermanfaat oleh kalangan permuseuman. Hasilnya nampak dengan kemajuan dengan adanya staff permuseuman yang akhir - akhir ini menampakkan kemajuan dengan adanya staff permuseuman yang sudah terlatih dalam administrasi, manajemen dan aspek - aspek tehnis dalam permuseuman yang modern. Dapat dikatakan bahwa didalam hal kebudayaan wawasan nusantara sudah tidak menjadi masalah lagi, karena adanya kepekaan terhadap dan kebanggaan akan seni kebudayaan daerah ini.

Apabila mengenai pengembangan budaya nasional berdasarkan wawasan nusantara tidak ada permasalahan karena pengembangan seni budaya wawasan nusantara itu cukup memperhatikan dan memberi peluang pada aspirasi dan manifestasi budaya daerah, persoalannya agak lain dengan perkembangan ekonomi kawasan Indonesi Timur. Masalahnya adalah bahwa kawasan Indonesia Timur itu walaupun cukup kaya dengan kekayaan alam seperti barang tambang (mineral), kayu berbagai jenis yang baik bisa dipakai sebagai bahan bangunan atau bahan bagi industri perkayuan lainnya seperti alat rumah tangga (furniture), bahkan sebagai bahan mentah pembuatan kertas (pulp) serta kekayaan hayati dan nabati laut (perikanan berbagai jenis termasuk mutiara), namun dilain pihak terdapat kendala - kendala yang masih perlu diatasi yaitu belum adanya atau berkembangnya infra struktur yang diperlukan untuk pengolahan segala kekayaan alam itu baik yang merupakan energi sebagai sumber tenaga listrik maupun infra struktur bagi sistim transportasi yang bisa menjadikan kawasan bagian timur ini menjadi satu satuan atau bagian Indonesia yang hidup dan berkembang secara ekonomis.

Saya tidak akan bicara secara rinci mengenai ketiga bidang kekayaan alam ini yaitu kekayaan mineral, kekayaan perkayuan dan kekayaan perikanan karena sudah ada masing - masing ahlinya yang akan membahasnya dalam Sarasehan ini.

Saya hanya ingin menekankan perlu dan pentingnya perkembangan prasarana atau infra struktur yang dikawasan timur Indonesia berarti tidak saja sistim atau jaringan jalan raya tetapi juga sistim dan jaringan perhubungan laut. Kita mengetahui bahwa Pemerintah sudah banyak mengeluarkan tenaga, pikiran dan dana untuk mengembangkan pengangkutan laut di kawasan timur Indonesia ini, baik dengan pengembangan pelayaran antar pulau yaitu pengangkutan laut yang menghubungkan pulau - pulau terbesar atau kumpulan pulau yang terpenting atau dengan menyediakan kapal - kapal perintis. Karena membangun armada antar pulau dan perintis ini selain memakan biaya yang besar juga sumber daya manusia yang tidak kecil, mungkin kemajuan yang ada dirasakan agak lambat, namun setelah beberapa tahun berusaha keadaannya kini sudah lebih baik.

Mengenai keadaan jaringan jalan didarat, inipun sangat besar biayanya. Pemerintah selain sedang membangun jalan lintas utara - selatan di Irian Jaya sepanjang perbatasan dengan APBN (Dep. P. U.) ditambah dengan APBD, juga membantu membangun jaringan jalan dengan mewajibkan investor asing besar membangun infra struktur berupa jalan darat seperti dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia. Masalah lain akhir - akhir ini mendapat sorotan tajam adalah pengaturan pembuangan limbah perusahaan tambang dimana sekarang PT. Freeport Indonesia atas desakan opini publik telah atau sedang mengadakan perbaikan - perbaikan setelah ternyata bahwa kecaman - kecaman yang dilancarkan itu ada kebenarannya. Karena masih kurangnya prasarana berupa jalan atau jaringan jalan yang memungkinkan transportasi bahan - bahan dan hasil industri dengan cepat dan murah pembangunan industri perkayuan di pulau Irian misalnya tidak bisa dilakukan dengan segera atau dalam waktu singkat. Keharusan menyediakan infra struktur itu menjadi kendala bagi banyak perusahaan calon investor asing karena perhitungan demikian tentu harus masuk didalam perhitungan ekonomi sebagai komponen biaya.

Sektor perikanan juga merupakan satu sektor yang sangat potensial tetapi belum bisa dikembangkan secara maksimal karena faktor - faktor yang kurang lebih sama dengan sektor mineral dan sektor lainnya yaitu kurang tersedia sarana dan sumber daya manusia, walaupun dalam sektor perikanan persoalan sumber daya manusia ini sebenarnya cukup tersedia. Perihal sarana berupa kapal nelayan, sekarang sudah nampak titik terang dengan adanya deregulasi dibidang perikanan laut ini, yang telah menghilangkan beberapa kendala yang tadinya ada yaitu perihal izin pelayaran bagi kapal nelayan dan kemudahan untuk membeli kapal nelayan dari luar negeri, baik yang baru maupun yang bekas pakai.

Mudah - mudahan deregulasi dibidang perikanan ini akan nampak hasilnya dalam waktu tidak terlalu lama dalam bentuk peningkatan persentase ikan dilaut yang dapat ditangkap dan yang lebih penting lagi yang diekspor langsung kenegara konsumen. Jadi sebenarnya hari depan kawasan timur Indonesia cukup cerah apabila usaha dan upaya pembangunan dilakukan dengan tepat dengan berdasarkan konsep Wawasan Nusantara yaitu yang mengharuskan pendekatan yang disesuaikan dengan kenyataan negara kita sebagai negara kepulauan yang berserakan didaerah laut yang luas yang harus kita ubah dari unsur yang memisahkan pulau - pulau menjadi unsur yang menyatukan pulau. Satu hal yang hanya dapat dilakukan dengan meningkatkan potensi kita sebagai bangsa bahari yaitu bangsa yang mampu melihat halnya dengan transportasi didarat. Karena demikianlah kenyataan geografi did

[1]oleh : Mochtar Kusuma - Atmadja

disampaikan pada peringatan Sarasehan Syukuran Makassar Serui (SSMS96) di Ujung Pandang , 30 Juli 1996, dalam rangka mengenang 50 tahun pembuangan ketujuh tokoh pergerakan kebangsaan Makassar ke Serui, Yapen, Irian Jaya oleh penjajah Belanda