BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Maka setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum lainnya. Hukum tersebut harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat membuat banyak pergeseran dalam sistem sosial dalam masyarakat. Salah satunya perubahan ekonomi yang semakin memburuk akibat dampak dari krisis global yang melanda hampir di seluruh bagian dunia, tidak terkecuali di Negara Indonesia. Dengan tingginya tekanan ekonomi yang menuntut setiap orang untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Individu dalam melaksanakan usaha guna memenuhi kebutuhannya, individu harus melakukan interaksi diantara anggota masyarakat lainnya.
Dalam berkehidupan di dalam masyarakat, setiap orang tidak akan lepas dari adanya interaksi antara individu yang satu dengan individu yang lain. Sebagai mahluk sosial yang diciptakan oleh Allah Subbahana Wa Ta’ala (SWT) manusia tidak akan dapat hidup apabila tidak berinteraksi dengan manusia yang lain. Dengan seringnya manusia melakukan interaksi satu sama lain, sehingga dapat menimbulkan hubungan antara dua individu atau lebih yang bersifat negative dan dapat menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Hal tersebut pada saat ini sering disebut dengan tindak pidana. Terjadinya suatu tindak pidana terdapat 2 (dua) pihak yang terlibat didalamnya, yaitu Pelaku dan Korban. Bentuk atau macam dari suatu tindak pidana sangatlah banyak, misalnya pembunuhan, perampokan, pencemaran nama baik, pencabulan, pemerkosaan, penggelapan, pencurian serta masih banyak yang lainnya lagi. Tindak pidana pencurian sering terjadi dalam masyarakat didorong oleh berbagai faktor. Menurut Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Metro Jaya pada Tahun 2008 kasus kejahatan tertinggi yang terjadi di Indonesia adalah kasus Pencurian, baik pencurian kendaraan bermotor yang menduduki peringkat pertama dan pencurian dengan kekerasan yang menempati urutan kedua. Kasus tindak pidana yang paling sering muncul dalam masyarakat adalah pencurian. Menurut data Polda Metro Jaya bahwa kejahatan yang terjadi dalam masyarakat setiap Tahunnya selalu tumbuh dan berkembang, apalagi menurut KAPOLDA Metro Jaya, Wahyono bahwa dalam Tahun 2009 kemungkinan angka kejahatan akan semakin tinggi dikarenakan dinamika dalam masyarakat semakin tinggi dan angka pengangguran dalam masyarakat semakin banyak.
Kriminologi merupakan sebuah cabang hukum pidana yang mengkonsentrasikan studinya untuk memahami kejahatan, meliputi faktor-faktor terjadinya suatu kejahatan. Walaupun sudah terdapat hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem pemidanaan, tetapi ilmu kriminologi timbul karena para ahli merasa tidak puas terhadap pengaturan yang terdapat pada hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem pemidanaan. Kriminologi mempunyai ruang lingkup pembahasan yakni, faktor-faktor penyebab terjadinya suatu tindak pidana, pengaruh lingkungan terhadap diri pelaku. Dalam kriminologi modern menggambarkan kepada kita betapa sulitnya untuk memahami dengan jelas tentang sebab-sebab suatu permasalahan kriminalitas. Dalam hal ini untuk meyakinkan adanya potensi atau kemungkinan (possibility) seorang koban kejahatan (victim) yang telah menderita justru menjadi salah satu faktor terjadinya kejahatan. Masalah kejahatan selalu merupakan masalah yang menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini.
Kriminologi banyak memperhatikan perkembangan masyarakat untuk mempelajari sebab-sebab suatu kejahatan dapat terjadi. Keadaan ini mendorong diusahakannya berbagai alternatif untuk mengatasi kejahatan – kejahatan tersebut, baik oleh para penegak hukum maupun oleh para ahli-ahli hukum dan kriminologi. Berbagai elemen yang ada hubungannya dengan suatu kejahatan dikaji dan dibahas secara intensif seperti : para pelaku (daders),para korban, pembuat undang-undang dan undang, penegak hukum, dan lain-lain. Dengan kata lain semua fenomena baik maupun buruk yang dapat menimbulkan kriminilitas (faktor kriminogen) diperhatikan dalam meninjau dan menganalisa terjadinya suatu kejahatan. Namun tidak dapat dipungkiri selama ini dan menganalisa maupun dalam menangani suatu peristiwa kejahatan perhatian tercurah pada pelaku kejahatan saja.
Perhatian yang tercurah lebih banyak menyoroti kepada pelaku, karena dalam ilmu tindak pidana perhatian pelaku merupakan pihak yang harus dibuktikan tindakannya untuk menjatuhkan sanksi pidana. Sedikit sekali perhatian diberikan pada korban kejahatan yang sebenarnya merupakan elemen (partisipan) dalam peristiwa pidana. Korban tidaklah hanya merupakan sebab dan dasar proses terjadinya kriminilitas tetapi memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran materil yang dikehendaki hukum pidana materiil. Korban dapat mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu tindak pidana, baik dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar, secara langsung ataupun tidak langsung.
Dari fakta yang disebut di atas, maka perhatian terhadap korban harus diutamakan. Salah satunya dengan cara mengembangkan viktimologi dan penerapannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Menurut Arif Gosita, dalam makalah yang ditulis oleh Dikdik M. Arief Mansur :
Salah satu latar belakang pemikiran viktimologis ini adalah “pengamatan meluas terpadu”, segala sesuatu harus diamati secara meluas terpadu (makro-integral) di samping diamati secara mikro-klinis, apabila kita ingin mendapatkan gambaran kenyataan menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, mengenai sesuatu, terutama mengenai relevansi sesuatu. Oleh karena itulah suatu usaha pengembangan viktimologi sebagai suatu sub-kriminologi yang merupakan studi ilmiah tentang korban kejahatan sangat dibutuhkan terutama dalam usaha mencari kebenaran materil dan perlindungan hak asasi manusia dalam negara Pancasila ini.
Usaha mencari kebenaran materiil dengan cara menganalisa korban kejahatan ini juga merupakan harapan baru sebagai suatu alternatif lain ataupun suatu instrumen segar dalam keseluruhan usaha untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi. Walaupun sebenarnya masalah korban ini bukan masalah baru, karena hal-hal tertentu kurang diperhatikan bahkan terabaikan. Setidak-tidaknya dapat ditegaskan bahwa apabila kita hendak mengamati masalah kejahatan menurut proporsi yang sebenarnya dari berbagai dimensi (secara dimensional) maka mau tidak mau kita harus memperhitungkan peranan korban (victim) dalam timbulnya suatu kejahatan.
Beberapa pokok bahasan yang harus mendapat perhatian dalam membahas mengenai penelitian atau pembelajaran terhadap korban (victim) dari tindak pidana yaitu:
1. Peranan korban dalam terjadinya suatu tindak pidana.
2. Hubungan antara pelaku tindak pidana (dader) dengan korban kejahatan (victim)
3. Sifat mudah diserangnnya korban dan kemungkinannya untuk menjadi residivis.
4. Peranan korban kejahatan (victim) dalam sistem peradilan.
5. Ketakutan korban terhadap kejahatan.
6. Sikap dari korban kejahatan (victim) terhadap peraturan dan penegakan hukumnya.
Selanjutnya pemahaman tentang korban kejahatan ini baik sebagai penderita sekaligus sebagai faktor/elemen dalam suatu peristiwa pidana akan sangat bermanfaat dalam upaya-upaya pencegahan terjadinya tindak pidana itu sendiri (preventif). Oleh karena itu seorang korban dapat dilihat dari dimensi korban kejahatanan ataupun sebagai salah satu faktor kriminogen. Selain itu korban juga dapat dilihat sebagai komponen penegakan hukum dengan fungsinya sebagai saksi korban atau pelapor.
Korban seharusnya dipandang ssebagai pihak yang paling banyak merasakan kerugian dan harus dilindungi segala hak-haknya. Dan hal inilah yang akan coba dicapai oleh Viktimilogi. Harapan yang ingin dicapai dari timbulnya ilmu victimologi adalah bahwa ilmu ini dapat memberikan perhatian yang lebih besar lagi terhadap korban dari suatu kejahatan. Jangan sampai seorang korban hanya dijadikan sebagai alat pembuktian dalam peradilan guna menjatuhkan sanksi kepada pelaku. Karena apabila seseorang telah menjadi korban maka orang tersebut merasakan kerugian, baik kerugian materill maupun kerugian secara imaterill. Tetapi sebagai korban, orang tersebut harusnya juga dapat diberikan perlindungan baik berupa Restitusi, Rehabilitasi, dan Kompensasi. Timbul suatu pemikiran yang baru dimana para aparat penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, dan Hakim dapat mempunyai pemikiran baru bahwa pemidanaan terhadap pelaku kejahatan tidak hanya menitik beratkan pada kepentingan untuk menjatuhkan pidana terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga dapat melindungi kepentingan korban sebagai pihak yang merasa paling dirugikan akibat tindakan pelaku.
Salah satu dari berbagai jenis kejahatan yang banyak terjadi di masyarakat adalah pencurian. Pencurian terjadi karena berbagai faktor, dari berbagai faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian maka kesempatan merupakan faktor penentu. Korban juga menjadi salah satu penyebab timbulnya atau terjadinya tindak pidana pencurian.
B. Perumusan Masalah
Suatu penelitian diperlukan adanya perumusan masalah untuk mengidentifikasi persoalan yang diteliti, sehingga sasaran yang hendak dicapai menjadi jelas, terarah serta mencapai tujuan yang ingin dicapai. Peneliti merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah faktor – faktor yang menjadi penyebab terjadinya Tindak Pidana Pencurian?
2. Bagaimanakah peran korban terhadap terjadinya pencurian ditinjau menurut Viktimilogi?
C. Tujuan Penulisan
Suatu kegiatan penelitian pasti terdapat suatu tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya tindak pidana pencurian.
b. Untuk mengetahui sejauhmana peran korban dalam terjadinya suatu tindak pidana pencurian menurut Viktimologi.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan pengetahuan dan pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan praktek lapangan hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana yang sangat berarti bagi penulis.
b. Untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Viktimologi
1. Pengertian Viktimologi
Buku Masalah Korban kejahatan karangan Arif Gosita diberikan penjelasan mengenai arti Viktimologi, dalam buku tersebut menyebutkan bahwa “Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan social.” Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.
Buku Bunga Rampai Viktimisasi karangan JE.Sahetapy dan kawan-kawan menjelaskan bahwa Viktimilogi merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan korban beserta segala aspeknya.
Pengertian lain dari Viktimologi adalah suatu study atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Dan viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang memiliki obyek study yang sama, yaitu kejahatan atau korban kriminal (http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html).
Sedangkan dalam website knowledgerush disebutkan bahwa Victimologi yaitu.
“Victimology is the study of why certain people are victims of crime and how lifestyles affect the chances that a certain person will fall victim to a crime. The field of victimology can cover a wide number of disciplines, including sociology, psychology, criminal justice, law and advocacy” (http://www.knowldgerush.com).
Dalam website exampeleessay yang juga membahas tentang Viktimilogi memberikan pengertian bahwa “Victimology is the scientific study of crime victims, focuses on the physical, emotional, and financial harm people suffer at the hands of criminals”.
Wikipedia yang merupakan salah satu website terbesar di dunia juga memberikan definisi mengenai viktimologi, yaitu:
“Victimology is the scientific study of victimization, including the relationships between victims and offenders, the interactions between victims and the criminal justice system that is, the police and courts, and corrections officials and the connections between victims and other social groups and institutions, such as the media, businesses, and social movements” ( http://www.wikipedia.com).
2. Sejarah Perkembangan Viktimologi
Pada awal perkembangannya, viktimologi baru mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada saat Hans von Hentig pada Tahun 1941 menulis sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.” Tujuh Tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The Criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan.
Pada Tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah istilah victimology pertama kali digunakan. Setelah itu para sarjan-sarjana lain mulai melakukan studi tentang hubungan psikologis antara penjahat dengan korban, bersama H. Mainheim, Schafser, dan Fiseler. Setelah itu pada Tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan pengamatan mengenai viktimologi yang dituangkan dalam tulisannya dengan judul “de Criminaliteit van Oss, Gronigen.”, dan pada Tahun 1959 P.Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi. Pada Tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perubahan terbesar dari perkembangan pembentukan prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban terwujud pada saat diadakannya kongres di Milan, pada tanggal 26 Agustus 1985 yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bansa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Decleration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse Power.
3. Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi meneliti topic-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam system peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan studi yang bertujuan untuk :
a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi;
c. Mengembangkan system tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.
Menurut J.E. sahetapy ruang lingkup viktimologi “meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh victim yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan”.
B. Hubungan Kriminologi dan Viktimologi
Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan. Seperti yang dibahas dalam buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, karangan Dikdik M.Arief Mansur . Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.
Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut :
1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya.
2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri.
Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi.
J.E Sahetapy juga berpendapat bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin menguraikan dan mencegah kejahatan harus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.
C. Korban
1. Pengertian Korban
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya sebagai berikut .
a. Arief Gosita
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.
b. Ralph de Sola
Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attemted criminal offense commited by another..”
c. Cohen
Cohen mengungkapkan bahwa korban (victim) adalah “Whose pain and suffering have been neglectedby the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering:”
d. Z.P Zeparovic
Korban (victim) adalah “… the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been theatened by a punisable act (not only criminal act but also another punisable acts as misdemeanors, economic offense, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where people are also involved.”
e. Muladi
Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termauk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
f. Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
“Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.”
g. Undang-Undang No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.
h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan pihak manapun.
i. Deklerasi PBB dalam The Decleration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse Power 1985.
Victims means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan, lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi.
2. Tipilogi Korban Kejahatan
Tipilogi kejahatan dimensinya dapat ditinjau dari dua perspektif, yaitu:
a. Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Melalui kajian perspektif ini, maka Ezzat Abdel Fattah menyebutkan beberapa tipilogi korban, yaitu;
1) Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.
2) Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.
3) Provocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.
4) Particapcing victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.
5) False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
b. Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban itu sendiri maka Stepen Schafer mengemukakan tipilogi korban menjadi tujuh bentuk yaitu :
1) Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban.
2) Proactive victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama.
3) Participacing victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di bank dalam jumlah besar yan tanpa pengawalan, kemudian dibungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
4) biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindunga kepada korban yang tidak berdaya.
5) Socially weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat.
6) Self victimizing victims adalah koran kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Untuk itu pertanggungjawabannya sepenuhnya terletak pada korban sekaligus sebagai pelaku kejahatan.
7) Political victims adalah korban karena lawan polotiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertnggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik (Lilik Mulyadi,2003:123-125).
c. Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut.
1) Primary victimization, yaitu korban berupa individu perorangan (bukan kelompok).
2) Secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum.
3) Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas.
4) No victimiazation, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan produksi.
3. Hak dan Kewajiban Korban
a. Hak-Hak Korban
Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa maupun cetak maupun elektronik. Peristiwa-peristiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan bebagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya.
Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulngi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.
Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertama-tama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya.
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan ( optional ) artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal.
Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitan (fisik, mental, atau materill) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena berbagai alasan, misalnya perasaan sakit dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan gati kerugian karena dikhawatikan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan.
Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, meliputi :
1) Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusu yang dibetuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahtan;
2) Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
3) Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku;
4) Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
5) Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
6) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
7) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
8) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dnegan kejahatan yang menimpa korban;
9) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiaakan nomor telepon atau identitas korban lainnya.
Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan :
1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga social, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ;
2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
3) Penanganan secara khusu berkaitan dengan kerahasiaan korban;
4) Pendampingan oleh pekerja social dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
5) Pelayanan bimbingan rohani.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu :
1) Compassion, respect and recognition;
2) Receive information and explanation about the progress of case;
3) Provide information;
4) Providing propef assistance;
5) Protection of privacy and physical safety;
6) Restitution and compensation;
7) To access to the mechanism of justice system.
b. Kewajiban Korban
Sekalipun hak-hak korban telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penaggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan.
Untuk itu ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain :
1) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan);
2) Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana;
3) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang;
4) Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku;
5) Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi keluarga dan keluarganya;
6) Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam uapaya pnanggulangan kejahata;
7) Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi
D. Tindak Pidana
1. Istilah Tindak Pidana
Para pembentuk Undang-Undang kita telah menggunakan istilah “strafbaarfeit” untuk menyebutkan “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan penjelasan mengenai apa maksud sebenarnya dari sitilah “strafbaarfeit” tersebut. Sehingga banyak menimbulkan pengertian mengenai “strafbaarfeit”. Menurut Adami Chazawi, “tindak pidana dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-undangan Negara kita”(Adami Chazawi, 2002:67). Dalam hampir seluruh perundang-undangan kita menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai istilah tindak pidana, antara lain :
a. Vos merumuskan bahwa suatu starfbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.
b. Moeljanto berpendapat “perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”.
c. Menurut P.A.F. Lamintang, pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan ”starfbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai ”tidak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perkataan ”feit” itu sendiri dalam Bahasa Belanda berati ”sebagian dari suatu kenyataan” sedangkan ”starfbaar ” berati ”dapat dihukum”, hingga secara harfiah perkataan ”starfbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita ketahui bahwa yang dapat di hukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.
d. Sudarto dalam bukunya Hukum Pidana I (1990:38) mengemukakan perbedaan tentang istilah perbuatan jahat sebagai berikut :
1) Perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara konkret sebagaimana terwujud dalam masyarakat (Social Verschinjensel, Erecheinung, fenomena), ialah perbuatan manusia yang memperkosa atau menyalahi norma-norma dasar dari masyarakat dalam konkreto, ini adalah pengertian “perbuatan jahat” dalam arti kriminologis.
2) Perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip), ialah sebagaimana terwujud in abstracto dalam peraturan-peraturan pidana. Untuk selanjutnya dalam pelajaran hukum pidana ini yang akan dibicarakan adalah perbuatan jahat dalam arti yang kedua tersebut.
Perbuatan yang dapat dipidana itu masih dapat dibagi menjadi :
a) Perbuatan yang dilarang oleh undang-undang;
b) Orang yang melanggar aturan tersebut.
2. Pengertian Tindak Pidana
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian tindak pidana, antara lain :
a. Kami memberikan pendapat bahwa “delik” itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggung jawabkan”.
b. Dalam website resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan definisi tindak pidana. Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dari berbagai pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengertian dari tindak pidana itu sendiri adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana orang tersebut dapat dimintai pertanggung jawaban atas segala tindakannya tersebut. Dimana tindakan atau perbuatan yang dilakukannya tersebut adalah perbutan yang melawan dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga perbuatan dapat diancam dengan suatu pemidanaan yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi individu yang melakukan perbuatan tersebut.
Menurut pandangan para ahli bahwa dalam terjadinya tindak pidana dibedakan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Terdapat dua pandangan yakni, aliran monistis dan dualistis. Walaupun meempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan UU selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu terdapat kesan perihal syarat-syarat (subjektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana.
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsur-unsur tindak pidana adalah :
a. Kelakuan manusia
b. Diancam dengan pidana
c. Dalam peraturan perundang-undangan
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu adalah perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam UU, dan diancam pidana bagi yang melakukannya. Dari unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, semata-mata mengenai perbuatannya.
Jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang dimuka telah dikemukakan, ialah Jonkers dan Schravendijk.
Dari batasan yang dibuat Jonkers (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah:
a. Perbuatan;
b. Melawan hukum;
c. Kesalahan;
d. Dipertanggungjwabkan.
Sedangkan Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Kelakuan;
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang;
e. Dipersalahkan / kesalahan.
Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak berbeda-beda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya.
3. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Menurut Moeljanto, unsur tindak pidana dapat yaitu :
a. Perbuatan (manusia);
b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c. Bersifat mealawan hukum (syarat materiil);
Syarat formil harus ada, karena hanya asas legalitas yang tersimpul dalam Pasal 1 KUHP. Syarat materiil juga harus ada, karena perbuatan itu harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan; oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercepainya tata dalam pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Moeljanto berpendapat, bahwa “kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat”.
Menurut Sudarto tentang unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno, Jadi untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikutu pendirian Prof. Moeljatno, maka tidak cukup apabila sesorang itu telah melakukan perbuatan pidana belaka; di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.
Menurut D.Simons, unsur-unsur strarfbaarfeit adalah:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);
b. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld);
c. Melawan hukum (onrechmatig);
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand);
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit.
a. Unsur objektif antara lain :
1) Perbuatan orang;
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”
b. Unsur subjektif yaitu :
1) Orang yang mampu bertanggung jawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa);
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu dilakukan.
Menurut Sudarto, unsur tindak pidana yang dapat disebut sebagai syarat pemidanaa antara lain :
a. Perbuatannya, syarat ;
1) Memenuhi rumusan undang-undang ;
2) Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).
b. Orangnya (kesalahannya), syarat :
1) Mampu bertanggung jawab :
2) Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf).
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertiaan ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak mesti perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Pengertian diancam pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana.
Dari rumusan R. Tresna, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni :
a. Perbuatan / rangkaian perbuatan (manusia);
b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan;
c. Diadakan tindakan penghukuman.
E. Pencurian
1. Pengertian Pencurian
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, arti dari kata “curi” adalah mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan tidak sah, biasanya dengan sembunyi-sembunyi. Sedangkan arti “pencurian” proses, cara, perbuatan.
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:
barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 Tahun atau denda paling banyak Rp.900,00-
Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur objektif (perbuatan mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang melekat pada benda untuk dimiliki secara sebagian ataupun seluruhnya milik orang lain) dan unsur-unsur subjektif (adanya maksud, yang ditujukan untuk memiliki, dan dengan melawan hukum).
Unsur-unsur pencurian adalah sebagai berikut :
a. Unsur-Unsur Objektif berupa :
1) Unsur perbuatan mengambil (wegnemen)
Unsur pertama dari tindak pidana pencurian ialah perbuatan “mengambil” barang. “Kata “mengambil” (wegnemen) dalam arti sempit terbatas pada menggerakan tangan dan jari-jari, memegang barangnnya, dan mengalihkannya ke lain tempat”.
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formill. Mengambil adalah suatu tingkah laku psoitif/perbuatan materill, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan yang disengaja. Pada umumnya menggunakan jari dan tangan kemudian diarahkan pada suatu benda, menyentuhnya, memegang, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaannya. Unsur pokok dari perbuatan mengambil harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak.
Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupaka syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu perbuatan pencurian yang sempurna.
2) Unsur benda
Pada objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van toelichting (MvT) mengenai pembentukan Pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak. Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang bergerak adalah setiap benda yang sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (Pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda-benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu pengertian lawandari benda bergerak.
3) Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik pelaku itu sendiri. Contohnya seperti sepeda motor milik bersama yaitu milik A dan B, yang kemudian A mengambil dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda motor tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (Pasal 372 KUHP).
b. Unsur-Unsur Subjektif berupa :
1) Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni unsur pertama maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memilikinya. Dua unsur itu tidak dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya, dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukan bahwa dalam tindak pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mengisyaratkan beralihnya hak milik atas barang yang dicuri ke tangan pelaku, dengan alasan. Pertama tidak dapat mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri pelaku sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
2) Melawan hukum
Menurut Moeljatno, unsur melawan hukum dalam tindak pidana pencurian yaitu Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum. Karena alasan inilah maka unsur melawan hukum dimaksudkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana, berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada dibelakangnya.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pencurian
Terjadinya suatu tindak pidana pencurian banyak sekali faktor-faktor yang melatar belakanginya. Selain faktor dari diri pelaku sebagai pihak yang melakukan suatu tindak pidana pencurian, banyak faktor lain yang mendorong dapat terjadinya suatu tindak pidana pencurian.yang terjadi dalam masyarakat.
Terdapat dua faktor utama yang menyebabkan dapat terjadinya suatu tindak pidana pencurian. Yaitu faktor internal dan faktor external. Kedua faktor tersebut akan dipaparkan dalam sub bab di bawah.
1. Faktor Internal
a. Niat Pelaku
Niat merupakan awal dari suatu perbuatan, dalam melakukan tindak pidana pencurian niat dari pelaku juga penting dalam faktor terjadinya perbuatan tersebut. Pelaku sebelum melakukan tindak pidana pencurian biasanya sudah berniat dan merencanakan bagaimana akan melakukan perbuatannya. Yang sering terjadi adalah pelaku merasa ingin memiliki barang yang dipunyai oleh korban, maka pelaku memiliki barang milik korban dengan cara yang dilarang oleh hukum,yaitu dengan mencurinya. Pelaku biasanya merasa iri terhadap barang yang dimiliki oleh korban, sehingga pelaku ingin memilikinya.
b. Keadaan Ekonomi
Ekonomi merupakan salah satu hal yang penting di dalam kehidupan manusia. Maka keadaan ekonomi dari pelaku tindak pidana pencurian kerap kali muncul yang melatarbelakangi sesorang melakukan tindak pidana pencurian. Para pelaku sering kali tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, atau bahkan tidak punya pekerjaan sama sekali atau seorang penganguran. Karena desakan ekonomi yang menghimpit, yaitu harus memenuhi kebutuhan keluarga, membeli sandang maupun papan, atau ada sanak keluarganya yang sedang sakit, maka sesorang dapat berbuat nekat dengan melakukan tindak pidana pencurian. Secara lengkap JJH Simanjuntak menjelaskan sebagai berikut :
Sebagian besar pelaku pencurian melakukan tindakannya tersebut disebabkan oleh kesulitan ekonomi, baik yang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ada keluarganya yang sakit, membutuhkan biaya dalam waktu dekat dan lain-lain. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor pendorong seseorang melakukan tindak pidana pencurian adalah kesulitan ekonomi yang menyebabkan ia melakukan perbuatan tersebut.
Rasa cinta seseorang terhadap keluarganya, menyebakan ia sering lupa diri dan akan melakukan apa saja demi kebahagiaan keluarganya. Terlebih lagi apabila faktor pendorong tersebut diliputi rasa gelisah, kekhawatiran, dan lain sebagainya, disebabkan orang tua (pada umumnya ibu yang sudah janda), atau isteri atau anak maupun anak-anaknya, dalam keadaan sakit keras. Memerlukan obat, sedangkan uang sulit di dapat. Oleh karena itu, maka seorang pelaku dapat termotivasi untuk melakukan pencurian.
c. Moral dan Pendidikan
Moral disini berarti tingkat kesadaran akan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Semakin tinggi rasa moral yang dimiliki oleh seseorang, maka kemungkinan orang tersebut akan melanggar norma-norma yang berlaku akan semakin rendah. Kesadaran hukum seseorang merupakan salah satu faktor internal yang dapat menentukan apakah pelaku dapat melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma di masyarakat. Apabila seseorang sadar akan perbuatan yang dapat melanggar norma maka ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut karena takut akan adanya sanksi yang dapat diterimanya, baik sanksi dari pemerintah maupun sanksi dari masyarakat sekitar.
Tingkatan pendidikan seseorang juga menentukan seseorang dapat melakukan tindak pidana pencurian. Karena dari kebanyakan pelaku tindak pidana pencurian hanya memiliki tingkat pendidikan yang tidak begitu tinggi. Tingkat pendidikan juga berpengaruh dalam kepemilikan pengahasilan dari pelaku tersebut. Karena tidak memiliki tingkat pendidikan yang tinggi, maka seseorang sulit mencari pekerjaaan. Karena tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan yang pasti tadi, maka seseorang melakukan tindak pidana pencurian karena terdesak kebutuhan ekonomi yang harus segera dipenuhi.
2. Faktor External
a. Lingkungan Tempat Tinggal
Lingkungan yang dimaksud disini merupakan daerah dimana penjahat berdomisili atau daerah-daerah di mana penjahat malakukan aksinya. Selain itu lingkungan disini juga bias diartikan sebagai lingkungan dimana si korban tinggal. Pertama penulis mengkaji terlebih dahulu mengenai lingkungan tempat tinggal pelaku kejahatan. Lingkungan tempat tinggal pelaku kejahatan biasanya merupakan lingkungan atau daerah-daerah yang pergaulan sosialnya rendah, rendahnya moral penduduk, dan sering kali di lingkungan tersebut norma-norma sosial sudah sering dilanggar dan tidak ditaati lagi. Selain itu standar pendidikan dan lingkungan tempat tinggal yang sering melakukan tindak pidana juga menjadi salah satu faktor yang dapat membentuk sesorang atau individu untuk menjadi seorang pelaku kejahatan.
Lingkungan tempat tinggal dari pelaku juga ikut mempengaruhi dalam terjadinya suatu tindak pidana. Karena keamanan dari lingkungan korban tinggal juga turut menjadi salah satu faktor utama dari terjadinya tindak pidana. Lingkungan yang sepi dan tidak terdapatnya sistem keamanan lingkungan (Siskamling) juga dapat membuat tindak pidana pencurian semakin marak terjadi di lingkungan tempat tinggal korban. Mengenai hal ini JJH Simanjuntak menjelaskan bahwa :
Lingkungan tempat tinggal juga menjadi salah satu faktor penting dari terjadinya suatu tindak pidana pencurian. Hal ini dapat dilihat dari penelitian selama ini, bahwa lingkungan juga menjadi salah satu faktor kriminigen (penyebab kejahatan). Dari kasus-kasus pencurian yang terjadi di daerah Surakarta, sering didapati bahwa pelaku kejahatan berasal dari lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat. Maksudnya adalah lingkungan tempat tinggal pelaku sering merupakan pemukiman yang kumuh, dimana pemukiman tersebut dihuni oleh orang-orang yang sering kali melakukan tindakan melanggar hukum, seperti mabuk-mabukan, perkelahian dan lain-lain. Sedangkan lingkungan tempat tinggal korban pun sama-sama mempunyai andil yang besar. Karena sering kali kelengahan kemanan dari lingkungan tempat tinggal yang dijadikan celah oleh pelaku untuk melancarkan aksinya. Maka keamanan lingkungan harus lebih diperhatikan oleh masyarakat luas pada saat ini.
b. Penegak Hukum
Sebagai petugas Negara yang mempunyai tugas menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat, peran penegak hukum disini juga memiliki andil yang cukup besar dalam terjadinya tindak pidana pencurian. Penegak hukum disini bukan hanya polisi saja, melainkan Jaksa selaku Penuntut Umum dan Hakim selaku pemberi keputusan dalam persidangan. Peran serta penegak hukum yang memiliki peran strategis adalah polisi. Polisi selaku petugas Negara harus senantiasa mampu menciptakan kesan aman dan tentram di dalam kehidupan bermasyarakat. Apabila dalam masyarakat masih sering timbul tindak pidana, khususnya tindak pidana pencurian berarti Polisi belum mampu menciptakan rasa aman di dalam masyarakat.
Polisi mempunyai tugas tidak hanya untuk menangkap setiap pelaku tindak pidana pencurian, tetapi harus mampu memberikan penyuluhan-penyuluhan dan informasi kepada masyarakat luas agar senantiasa mampu berhati-hati agar tidak terjadi tindak pidana pencurian di lingkungan mereka masing-masing. Penyuluhan-penyuluhan tersebut dapat dilakukan dengan melalui media elektronik dan penyuluhan secara langsung kepada masyarakat. Selain itu polisi juga dapat melakukan patroli untuk senantiasa menjaga keamanan di lingkungan masyarakat. Seperti halnya dijelaskan oleh JJH Simanjuntak, sebagai berikut :
Pihak kepolisian dapat melakukan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan pada umumnya, dan pencurian pada khususnya, juga dilakukan pihak aparat penegak hukum. Dari Kepolisian Kota Besar Surakarta, tindakan yang berkaitan dengan itu dilakukan dalam bentuk patroli keamanan, penyuluhan-penyuluhan hukum terhadap masyarakat, baik secara langsung, maupun secara periodik. Di samping itu kepolisian daerah atau kepolisian Negara juga telah melakukan peringatan-peringatan melalui media elektronik, seperti yang sering kita lihat di televisi-televisi. Aparat kejaksaan juga telah menyelenggarakan jaksa masuk desa, dan lain sebagainya.
Dari pernyataan di atas, dapat juga di simpulkan, bahwa aparat penegak hukum juga tidak henti-hentinya melakukan tindakan pencegahan terjadinya kejahatan, termasuk kejahatan pencurian dengan , baik dengan mengadakan patroli-patroli, penyuluhan hukum terhadap masyarakat (yang dilakukan oleh POLRI), maupun yang berupa ”peringatan-peringatan” melalui media elektronik seperti televisi, dan radio. Pihak kejaksaan juga melaksanakan program jaksa masuk desa dengan (salah satunya) tujuan serupa. Dengan demikian, pihak aparat penegak hukum pun telah melakukan tindakan-tindakan preventatif. Maka dari itu pihak penegak hukum juga menjadi faktor penentu dalam terjadinya tindak pidana pencurian, bila penegak hukum sudah melakukan tugasnya dengan baik maka angka kejahatan,khususnya pencurian dapat ditekan ke angka yang paling rendah.
c. Korban
Kelengahan korban juga menjadi salah satu faktor pendorong pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian. Pada keadaan masyarakat saat ini dimana tingkat kesenjangan di dalam masyarakat semakin tinngi. Di satu sisi banyak orang yang kaya raya tetapi orang yang miskin sekali pun juga semakin banyak. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial yang dirasakan oleh pelaku. Tindakan korban yang memamerkan harta kekayaan juga menjadi “godaan” kepada pelaku untuk melancarkan aksinya.
Rasa waspada dari korban juga harus ditingkatkan agar tindak pidana pencurian tidak dialami oleh korban. Misalkan A mempunyai motor, dan diparkir di depan rumahnya. Untuk menjamin keamanannya A harus mengkunci motornya dan harus diparkir di tempat yang aman agar tidak dicuri oleh seseorang. Tindakan ini disebut tindakan preventif yang dapat dilakukan oleh individu agar ia tidak menjadi korban dari tindak pidana pencurian. Seperti halnya pencurian uang yang paling sering terjadi di masyarakat saat ini. Anggota masyarakat harus senantiasa meningkatakan kewaspadaanya serta harus dapat memberikan keamanan kepada setiap hartanya, khusunya disini uang. Kelengahan pemilik uang juga dapat menciptakan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian.
B. Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana Pencurian Menurut Viktimologi
Sebelum dijelaskan secara lebih jelas mengenai peran korban dalam terjadinya tindak pidana, terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai pihak-pihak mana saja yang ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana pencurian. Dari wawancara yang dilakukan oleh penulis, ditemukan bahwa selain dari peran korban dan pelaku ternyata lingkungan atau masyarakat juga ikut berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana pencurian. Penulis akan menjelaskan pihak-pihak yang ikut berperan dalam terjadinya tindak pidana pencurian.
1. Peran Masyarakat
Berkaitan dengan keadaan masyarakat sekitar pelaku, apakah masyarakat sekitar pelaku merupakan penjudi ataupun pemabok. Adapun faktor internal berkaitan dengan pendidikan masyarakat sekitar pelaku kepercayaan terhadap agama atau keimanan, dalam arti masyarakat yang bersangkutan menganggap “biasa saja” adanya hal-hal yang sebenarnya dilarang atau dianggap melanggar hukum. Faktor eksternal, terutama yang berasal dari masyarakat lain, juga berpengaruh pada perilaku dari anggota masyarakat dimana pelaku tinggal.
Dalam masyarakat yang serba kekurangan, maka objek pencurian akan ditujukan pada masyarakat lain yang keadaannya lebih baik, di samping memang ada kesempatan untuk itu. Faktor eksternal khusus, tetap berasal dari masyarakat lain (di luar pelaku tinggal), akan tetapi sangat khusus sekali sifatnya. Misalnya ada anggota masyarakat lain yang menyimpan uang dalam jumlah besar dirumahnya atau suka memamerkan harta kekayaannya. Hal seperti ini menjadi “pemancing” bagi pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian.
Von Hentig pakar Viktimologi bahwa dalam sebuah lingkungan yang disebut “victim area”(victim area ini sama dengan “Crime area”) yaitu tempat atau lingkungan dimana seseorang mudah menjadi objek kejahatan tertentu. Daerah pasar, lampu merah, serta perumahan yang tidak ada petugas keamanannya merupakan daerah rawan kejahatan.
2. Peran Pelaku
Secara umum, faktor ini dikaitkan dengan pendidikan, keagamaan, rasa moral, lingkungan, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh JJH, Simanjuntak bahwa seseorang yang berpendidikan rendah, kemungkinan akan mudah untuk melakukan suatu tindak pidana, termasuk pencurian dengan , dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan tinggi atau yang lebih tinggi. Secara khusus, faktor internal penyebab terjadinya kejahatan atau pencurian, adalah seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya adalah ”rasa ingin memiliki, tingkat pendidikan,moral dan penyebab-penyebab lain yang sejenis”. Di samping faktor internal seperti yang telah dikemukakan di atas, ada pula faktor eksternal, yang meliputi :
a. kesempatan,
b. kurangnya keamanan,
c. keadaan ekonomi
d. pergaulan,
e. peran atau keadaan korban.
1. Peran Korban
Peran korban dalam terjadinya tindak pidana pencurian juga patut diperhatikan dan menjadi salah satu faktor yang penting dalam terjadinya tindak pidana pencurian. Seperti yang dijelaskan oleh penulis di muka, bahwa peran korban di sini diartikan sebagai keadaan korban yang memberikan peluang atau kesempatan agar pelaku dapat melaksanakan niatnya untuk melakukan tindak pencurian.
Peran korban disini dapat berupa sifat korban yang gemar memamerkan harta kekayaanya, sering memakai perhiasan yang berlebihan walaupun hanya keluar di sekitar rumah. Menceritakan uangnya ia simpan di rumah dengan jumlah yang banyak, padahal orang yang diceritakan mungkin orang yang tidak dapat dipercaya. Dengan informasi yang diceritakan oleh korban, maka dengan mudah pelaku dapat masuk ke rumah korban dan mengambil barang yang sesuai seperti diceritakan oleh korban.
Selain itu, korban juga turut serta “memberikan kesempatan” kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian. Contoh dari korban yang memberikan kesempatan pada korban adalah seperti rumah korban yang tidak diberi pagar yang tinggi, tidak menyimpan uangnya di bank tetapi hanya di simpan di lemari, memakai perhiasan yang berlebihan padahal hanya pergi ke pasar dan banyak contoh-contoh lainnya dimana korban memberikan kesempatan kepada pelaku untuk melaksanakan aksinya. Dan disini peranan korban sangat berhubungan dengan terjadinya tindak pidana pencurian.
Viktimilogi mempelajari tidak hanya perlindungan yang harus diberikan oleh pemerintah terhadap masyarakat yang telah menjadi korban dari tindak pidana, tetapi disini Viktimilogi juga mempelajari peranan korban terhadap terjadinya tindak pidana, khususnya tindak pidana pencurian. Peranan korban antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan oleh korban, dan dalam tindakan yang dilakukan oleh korban tersebut terdapat hubungan yang penting, dan beberapa kasus terjadinya kejahatan pihak korban dikatakan ikut bertanggung jawab.
Pihak korban dapat berperan dan ikut bertanggung jawab dalam keadaan sadar atau tidak,secara langsung atau tidak langsung, aktif maupun psif. Semuanya bergantung pada saat kejahatan tersebut berlangsung. Pihak korban sebagai partisipan utama atau pihak yang paling menentukan dalam terjadinya tindak pidana pencurian bergantung pada situasi kondisi dimana korban itu berada.
Pihak korban dalam situasi dan kondisi tertentu dapat pula mengundang pihak pelaku untuk melakukan kejahatan pada dirinya akibat sikap dan tindakannya. Dalam hal ini antara pihak korban dan pelaku tidak ada hubungan sebelumnya. Misalnya, pihak korban bersikap dan bertindak lalai terhadap harta miliknya (meletakkan atau membawa barang barharga, tanpa adanya pengamanan) sehingga memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengambilnya tanpa izin. Dapat pula karena korban berada di daerah rawan, yang menjadikan dirinya rentan menjadi sasaran perbuatan jahat.
Viktimologi mempunyai fungsi untuk mempelajari sejauh mana peran dari seorang korban dalam terjadinya tindak pidana, serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemeritah terhadap seseorang yang telah menjadi korban kejahatan. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis, pertama adalah faktor – faktor yang menjadi sebab terjadinya suatu tindak pidana, khususnya mengenai Tindak Pidana Pencurian dan kedua adalah pihak-pihak yang berperan dalam terjadinya suatu tindak pidana,serta bagaimanakah peran korban ditinjau menurut Viktimilogi.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor-Faktor yang Menjadi Sebab Terjadinya Suatu Tindak Pidana
a. Faktor Internal
1) Niat Pelaku
Dalam diri setiap setiap pelaku kejahatan sudah timbul niat untuk melakukan kejahatan. Karena awal dari perbuatan pidana biasanya diawali oleh niat si pelaku, setelah mempunyai niat, pelaku menyusun rencana untuk melakukan kejahatan tersebut.
2) Keadaan Ekonomi
Keadaan ekonomi korban merupakan faktor yang paling sering muncul dalam tindak pidana pencurian. Karena adanya tekanan ekonomi untuk segera memenuhi kebutuhannya, maka pelaku mengambil jalan pintas untuk mencuri agar segera mendapatkan uang. Keadaan keluarga dari pelaku juga menentukan, seperti ada keluarga dari pelaku yang sakit sehingga segera membutuhkan biaya untuk berobat.
3) Moral dan Pendidikan
Tinggi rendahnya pendidikan serta moral yang dimiliki oleh pelaku menjadi salah satu faktor internal yang menetukan, karena semakin tinggi pendidikan seseorang maka orang tersebut pasti dapat berfikir secara logis bahwa mencuri bukan jalan yang tepat untuk mendapatkan uang. Sedangkan moral berperan sebagai “dinding” yang menahan seseorang melakukan kejahatan.
b. Faktor Eksternal
1) Lingkungan Tempat Tinggal
Lingkungan di sini dapat diartikan tempat tinggal korban maupun pelaku. Karena lingkungan tempat tinggal korban sangat menentukan sifat dan kelakuan dari pelaku, bila lingkungan tempat tinggal pelaku sering terjadi pelanggaran norma-norma hukum, maka pelaku akan mengikutinya. Sedangkan lingkungan korban yang aman dapat mencegah terjadinya tindak pidana pencurian.
2) Penegak Hukum
Penegak hukum disini meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Tapi pihak yang paling berpengaruh adalah polisi, karena polisi secara langsung turun ke masyarakat untuk menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Dengan sering mengadakan patroli dan penyuluhan-penyuluhan di lingkungan masyarakat, diharapkan dapat menekan angka kriminalitas.
3) Korban
Korban merupakan pihak yang ikut berpengaruh dalam terjadinya kejahatan. Karena seringkali kejahatan yang terjadi adalah akibat dari korban yang member kesempatan kepada pelaku untuk dapat melakukan kejahatan kepadanya. Bila korban dapat meningkatkan kewaspadaannya, maka kejahatan tidak dapat terjadi kepadanya.
2. Peran Korban Dalam Terjadinya Pencurian Menurut Viktimilogi
a. Pihak-Pihak yang Berperan Dalam Terjadinya Suatu Tindak Pidana
1) Peran Masyarakat
Masyarakat berperan sebagai pembentuk sifat pelaku. Dan juga masyarakat juga berperan sebagai faktor pendorong bagi terjadinya tindak pidana pencurian. Seperti apabila ada anggota masyarakat yang memamerkan harta kekayaannya, maka hal tersebut dapat mengundang pelaku untuk melakukan tindak pidana pencurian.
2) Peran Pelaku
Peran pelaku disini dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti pendidikan, moral, dan keadaan ekonomi. Faktor-faktor tadi dapat menjadikan seseorang menjadi seorang pelaku kejahatan. Pelaku merupakan pihak yang paling berperan dalam terjadinya tindak pidana pencurian, karena dalam tindak pidana pencurian pelaku berpartisipasi secara aktif. Bila tidak ada niat dan perbuatan dari pelaku maka sebuah tindak pidana pencurian tidak akan pernah terjadi.
3) Peran Korban
Korban merupakan pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan pelaku, tetapi tidak semua pertanggung jawaban dari sebuah tindak pidana pencurian hanya dilimpahkan kepada pelaku saja. Korban pun memiliki peran, walaupun partisipasi dari korban merupakan partisipasi yang pasif. Dengan adanya kesempatan yang diberikan oleh korban, biasanya pelaku baru melakukan kejahatan.
b. Peran Korban Ditinjau Menurut Viktimilogi
Dalam tinjauan Viktimilogi, korban juga turut serta dalam sebuah terjadinya tindak pidana. Walaupun perannya tidak seaktif pelaku, tetapi korban tetap memiliki andil dalam terjadinya tindak pidana pencurian. Maka dari itu Viktimilogi mempelajari korban serta bagaimana perlindungan yang harus diberikan oleh pemerintah. Pada kenyataanya dapat dikatakan bahwa tidak mungkin timbul suatu kejahatan kalau tidak ada si korban kejahatan, yang merupakan peserta utama dan si penjahat atau pelaku dalam hal terjadinya suatu kejahatan dan hal pemenuhan kepentingan si pelaku yang berakibat pada penderitaan si korban. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korban mempunyai tanggung jawab fungsional dalam terjadinya kejahatan.
B. Saran
1. Untuk menekan angka kriminalitas yang terjadi di masyarakat khususnya tindak pidana pencurian, bukan hanya tugas dari pihak kepolisian saja. Tetapi banyak pihak yang dapat turut berpartisinpasi dalam pencegahan tindak pidana pencurian. Seperti lingkungan masyarakat dan keluarga, masyarakat bertugas sebagai pihak yang harus menjaga keamanan tempat tinggal korban. Kerena sebagai masyarakat yang saling tinggal di lingkungan yang sama, setiap anggota masyarakat harus saling menjaga karena pihak polisi tidak mungkin dapat menjaga seluruh daerah. Keluarga juga dapat mencegah seseorang menjadi pelaku tindak pidana pencurian dengan memberikan bekal pendidikan dan agama yang harus diberikan sejak dini, sehingga dapat membentuk seseorang yang berkelakuan baik.
2. Pihak masyarakat, pelaku dan korban merupakan tiga unsur yang penting dalam terjadinya tindak pidana pencurian. Masyarakat selaku pihak yang dapat mencegah terjadinya tindak pidana, karena apabila anggota masyarakat saling menjaga dan menciptakan lingkungan yang aman dan tentram sehingga dapat menekan terjadinya tindak pidana pencurian. Pelaku selaku pihak yang berpartisipasi secara aktif, hanya dapat dicegah untuk melakukan kejahatan dari faktor internal (diri sendiri). Karena hanya dari diri pelaku sendirlah seseorang dapat menentukan apakah dirinya ingin menjadi seorang penjahat atau tidak. Sedangkan korban yang menjadi pihak yang paling dirugikan, harus meningkatakan kewaspadaan sehingga tidak menciptakan kesempatan kepada pelaku untuk melakukan kejahatan
DAFTAR PUSTAKA
1. Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2. Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT.Buana Ilmu Populer.
3. Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.
4. Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Victimologi. Denpasar: Djambatan.
5. Martiman Prodjomidjojo. 1995. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I. Jakarta: Pradnya Pramita.
6. Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
7. Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung; PT.Refika Aditama.
8. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
10. http://www.wawasandigital.com> [4 September 2009 pukul 18.30].
11. http://en.wikipedia.org/wiki/Victimology> [4 Desember 2010 pukul 18.30].
12. http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html>http://www.wawasandigital.com/ [25 November 2010 16.00].
13. Kriminologi dan Viktimologi http://www.kriminologi-viktimologi.htm [21 November 2010].
14. http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/TP_Tipikor.pdf> [03 November 2010]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar