BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perlindungan hukum bagi korban merupakan salah satu kebutuhan yang semakin mendesak. Hal ini disebabkan kurangnya pengaturan secara tegas dan jelas tentang perlindungan hukum terhadap korban dalam KUHAP. Sistem peradilan pidana lebih mengedepankan bagaimana penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku. Sementara perlindungan hukum terhadap korban dalam pemeriksaan pengadilan kurang diperhatikan. Dua hal yang terkait satu sama lain, yakni subyek kejahatan dan obyek kejahatan. Subyek kejahatan adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yakni pelaku kejahatan. Obyek kejahatan dapat berupa harta benda, mahluk hidup yang bukan manusia (seperti hewan, tumbuhan dan sebagainya) maupun manusia itu sendiri. Manusia dapat menjadi obyek kejahatan antara lain dalam kasus pembunuhan, penganiayaan, dan perkosaan. Manusia sebagai obyek kejahatan inilah yang dalam sehari-hari disebut sebagai korban (victim). Korban diartikan sebagai mereka yang menderita fisik, mental, sosial sebagai akibat tindakan jahat dari mereka yang mau memenuhi kepentingan diri sendiri atau pihak yang menderita.
Kejahatan merupakan persoalan dalam dinamika kehidupan yang senantiasa berkembang mengikuti perkembangan peradaban manusia, sehingga tidak bisa dipungkiri berkembangnya kejahatan ditafsirkan sebagai efek negatif dari perubahan aspek tatanan kehidupan manusia. Perkembangan sosial, budaya, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi serta aspek lainya mendorong perubahan dan pergeseran pola pikir dan perilaku manusia untuk senantiasa menyesuaikan dengan kondisi. Pada dasarnya bermuara pada suatu kepentingan, dimana ketika upaya hukum yang ada, maka berakibat pada pola pikir dan perilaku negatif yang akhirnya melahirkan suatu penyimpangan moral atau penyimpangan terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Kejahatan dan penjahat senantiasa menjadi permasalahan yang seakan-akan tidak pernah habis dalam persoalan masyarakat dan penegakan hukumnya, bahkan dalam kajian teori dan dalam bentuk penelitaian sekalipun, persoalan ini tetap menjadi perdebatan yang menarik. Namun sedikit sekali perhatian yang diberikan orang atau badan/lembaga atau bahkan negara (peraturan perundang-undangan) kapada korban kejahatan dan dalam hal perlindungan baik dari segi aspek hukum maupun aspek lainnya, sehingga kondisi ini menyebabkan kurangnya jaminan sosial bagi korban kejahatan ketika kembali ke lingkungan sosialnya.
Selanjutnya kejahatan salah satu bidang permasalahan yang kontroversial, sehingga dianggap sebagai pusat pembahasan dan permasalahan kriminologi. Kemudian karena inkosistensi dan kontradiksi serta tidak mampunyai berbagai teori kriminologi menerangkan mengapa dan bagaimana terjadinya kejahatan. Dalam rangka memberikan pelayanan terhadap korban perlu diperhatikan dan dimanfaatkan pandangan-pandangan viktimologi sebagai dasar orang bersikap dan bertindak melakukan pelayanan tersebut. Viktimologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu masalah pengorbanan kriminal sebagai suatu nasalah manusia merupakan suatu kenyataan sosial Salah satu akibat dari pengorbanan kriminal yang dapat perhatian viktimologi adalah penderitaan, kerugian mental, fisik, sosial seseorang serta penanggulangannya. Tujuan mencurahkan perhatian pada hal ini adalah terutama untuk memahami pencegahan kriminal yang lebih lanjut. Sehubungan dengan ini maka terlebih dahulu dikemukakan manfaat viktimologi dalam rangka mencari dasar-dasar penilaian apakah sesuatu itu rasional positif dapat dipertanggungjawabkan dan bermanfaat atau tidak.
Lazimnya orang cuma memperhatikan dalam analisis kejahatan hanya komponen penjahat, undang-undang, dan penegak hukum serta interaksi antar ketiga komponen tersebut. Masalah masyarakat dan faktor lainnya, kalaupun dikaji lebih banyak disoroti oleh sosiologi dan kriminologi. Komponen korban hampir terlupakan dalam analisis ilmiah. Kalaupun dipersoalkan faktor korban, analisisnya belum dikupas secara bulat dan tuntas.[1] Kepastian hukum merupakan perlindungan hukum terhadap setiap tindakan sewenang-wenang, artinya tiap-tiap orang berhak memperoleh perlindungan hukum, dan disisi lain tiap-tiap orang juga harus patuh pada hukum yang berlaku. Hukum harus memberikan keadilan, hukum bukan keadilan kerena hukum adalah aturan hukum umum sehingga hukum harus memberikan keadilan dan perlindungan hukum bagi pelaku maupun korban kejahatan tanpa membeda-bedakan.
Permasalahan korban (victim) menjadi permasalahan hukum yang membutuhkan satu pemikiran yang serius. Korban sebagai pihak yang dirugikan langsung, tidak memiliki akses yang kuat untuk dapat menentukan sikap yang berhubungan apa yang sedang dialaminya. Menguatnya perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dalam KUHAP ternyata hingga saat ini belum diimbangi dengan perhatian yang sama terhadap nasib korban kejahatan yang juga mengalami nasib yang sama, yaitu terabaikannya oleh sistem peradilan pidana.[2]
B. Permasalahan
Dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu bahwa Bagaimanakah Kebijakan Hukum Pidana yang berorientasi pada korban?
BAB II
PEMBAHASAN
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban, Terlihat bahwa pengaturan saksi dan korban adalah merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Maka oleh sebab itu, dari materi awal yang disampaikan oleh panitia, kami memandang perlu ditambahkan unsur ”korban”, sehingga dapat terakomodasi kedua hal tersebut, yaitu saksi dan korban. Sedangkan pelapor merupakan hal lain dari saksi, yang justru saat ini sedang dalam perdebatan karena ternyata Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak mengakomodir konsep pelapor, yang juga bagian yang tidak terpisahkan dari diskursus ini nantinya.
Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.”Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu,disatu pihak dapat terjadi karena perbuatan/tindakan seseorang (orang lain), seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan), dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain. Walaupun kategori korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkan realita, akan tetapi menurut Andi Mattalatta,[3]pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan. Maka atas dasar ini pulalah, tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain dari korban kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut, pengkajian masalah korban dalam tulisan ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang lazimnya, seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam pengertian yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya viktimologi (klasik).
Pada waktu hukum pidana masih merupakan hukum perdata, setiap orang yang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari tindakan orang lain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas kerugian/penderitaan yang dialaminya.
Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan hak dari seseorang yang dirugikan atau yang terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari anggota masyarakat.
Perkembangan lebih lanjut, diantara warga masyarakat timbul suatu kebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu, yaitu dengan suatu kesadaran, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseorangan itu sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atau berlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas), diputuskanlah oleh warga masyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan orang lain itu, harus membayar ganti kerugian kepada orang yang dirugikan sekaligus juga kepada masyarakat. Hal ini, menurut L.H.C. Hulsman, telah berlangsung dari abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagian besar konflik-konflik antarmanusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi.[4]
Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi inipun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan (ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat (negara). Demikian juga menurut S.R. Sianturi, “pada mulanya jumlah ganti rugi (denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa.”
Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pada mulanya, reaksi terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain, sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatu keadaan, tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidak setimpal dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal ini terjadi sebagai akibat dari emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalam perkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan (talionis) ini, telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang dialami oleh seseorang itu lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah harta kepada korban. Kemudian oleh karena pelanggaran yang terjadi itu tidak hanya merupakan hubungan (urusan) antara pelaku dan korban, melainkan pelaku pelanggaran dianggap juga telah mengganggu “keseimbangan” ketertiban dalam masyarakat, sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam “keseimbangan” antara pelaku dan masyarakat.
Sehubungan dengan uraian di atas, dalam praktek penerapan hukum pidana, ternyata pada akhirnya gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat inilah yang lebih diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasa sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut “balas” atau ganti rugi dari pelaku. Korban sendiri dalam hal ini kehilangan haknya untuk melakukan tindakan. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Arif Gosita, secara berangsur-angsur negara mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan hukum dari pihak korban. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem hukum pidana. Negara bertindak sebagai “wakil perdamaian” dalam masyarakat dan pihak korban. Situasi kongkrit “sebagai yang dirugikan” dan keadaan “perdamaian” yang memberikan perlindungan terhadap kerugian ini, kemudian diabstrahir menjadi “tertib hukum.” Pengertian ini kemudian dijadikan yang utama. Suatu tindak pidana tidak lagi dilihat, terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, tetapi adalah sebagai “pelanggaran terhadap suatu tertib hukum.” Dengan kata lain, bahwa suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah, daging dan perasaan, akan tetapi adalah sebagai sesuatu yang melawan hukum, yaitu bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum.
Sehingga dengan demikian, sekarang ini, reaksi terhadap pelaku delik merupakan hak penuh dari negara untuk “penyelesaian” lebih lanjut melalui aparat penegak hukumnya. Sementara itu, korban dari kejahatan tersebut, “dapat” hadir dalam proses peradilan pidana dengan 2 (dua) kualitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Fungsi korban disini adalah memberi kesaksian dalam rangka pengungkapan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkan kerugian/penderitaan pada dirinya.
Dalam kaitannya dengan masalah tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh korban, maka persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kepentingan yang diprioritaskan oleh pihak penyidik dan atau penuntut umum dalam menangani kasus pidana tersebut tidak sesuai atau tidak seiring dengan kepentingan korban untuk memperoleh penggantian kerugian dari terdakwa/pelaku (atau dari negara). Apalagi bila ditelaah lebih jauh, penyidik dan penuntut umum dalam menangani suatu perkara pidana tidak hanya mempertimbangkan kepentingan korban. Kepentingan korban hanyalah satu dari sekian banyak kepentingan yang mungkin dipertimbangkan.
Pemihakan pada “kepentingan lain” untuk ikut pula dipertimbangkan oleh penuntut umum maupun aparat Kepolisian memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengan diadakannya lembaga diskresi (untuk aparat Kepolisian) dan lembaga opportunitas (untuk penuntut umum).Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditetapkan, bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Dari ketentuan ini jelas, bahwa selain melakukan tugas di bidang peradilan, Kejaksaan merupakan pula lembaga politik negara. Hal ini membawa konsekuensi pada penambahan muatan bagi aparat Kejaksaan untuk ikut pula mempertimbangkan unsur politik dalam proses penuntutan, di samping mempertimbangkan kepentingan korban seperti diuraikan di atas. Sehingga, jika mengacu pada pola pemikiran seperti ini, maka kepentingan korban kejahatan seringkali terabaikan dan bahkan terjadi penelantaran perhatian, karena dengan konstruksi seperti diuraikan di atas menunjukan, bahwa kesempatan yang diberikan kepada korban untuk memperoleh ganti kerugian amat bergantung pada kepentingan yang diprioritaskan dan kemampuan dari pihak penyidik dan penuntut umum dalam melaksanakan tugas mereka masing-masing.
Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku, mengasumsikan pula bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, karena pelaku kejahatan dalam hal ini telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban. Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril, akan tetapi jika dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara pelaku dan korban.L.H.C. Hulsman dalam kaitan ini juga menyorot masalah korban, “adalah sangat serius, dipandang secara prinsip, untuk beranggapan bahwa pelanggar harus dipidana supaya korban dapat menemukan ketenangan kembali.” Apalagi jika dikaji tujuan pemidanaan saat ini yang tidak lagi berorientasi pada penjeraan/ pembalasan, melainkan lebih berorientasi pada perbaikan atau pembinaan si pelaku, yaitu dengan berbagai sebutan antara lain seperti: rehabilitasi, reformasi, treatment of offenders, reedukasi, readaptasi sosial, resosialisasi, pemasyarakatan dan lain-lain.
Dengan demikian, kedudukan korban yang terabaikan ini, jelas merupakan suatu ketidakadilan. Kalaupun korban difungsikan dalam proses peradilan pidana, tidak lebih hanya sebagai pendukung penguasa (Jaksa Penuntut Umum) dalam rangka “penegakan ketertiban,” sementara itu “nasibnya” sendiri sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu perbuatan pidana, terisolasi atau paling tidak, kurang mendapat perhatian, teracuhkan. Korban dalam hal ini menurut Arif Gosita, “hanya difungsikan/dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian saja..”Disamping itu, dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana, yaitu melalui berbagai bentuk perumusan kebijakan, seringkali ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban secara langsung, sehingga dengan demikian, tidak mengherankan apabila perhatian terhadap korban semakin jauh dari peradilan pidana.Senada dengan uraian di atas, Mulyana W. Kusumah menulis, “Masalah kejahatan senantiasa berkisar pada pertanyaan apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan tak seorangpun yang mempertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat adalah satu-satunya sumber kesulitan-kesulitan bagi korban.”
Dengan perkembangan pemikiran tentang tujuan pemidanaan, yang antara lain didasarkan kepada perlunya pembinaan si pelaku (terpidana) agar dapat kembali dalam kehidupan masyarakat, menurut Stephen Schafer, “telah dibarengi dengan kenyataan sangat berkurangnya perhatian kepada korban. Dan, kalaupun ada perhatian terhadap korban kejahatan, hal itu dianggap tidak boleh menghalangi pembinaan terpidana.”
Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan, seyogyanya juga harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya. Pelayanan dalam hal ini bukan diartikan sebagai suatu kesamaan perlakuan, melainkan adalah digantungkan pada situasi dan kondisi dengan mempertimbangkan berbagai faktor, terutama yang menyangkut faktor keterlibatan korban itu sendiri (shared responsibility) dalam hal terjadinya delik. Maka oleh sebab itu, adalah penting dalam rangka kajian kriminologi, penologi dan viktimologi untuk memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya secara seimbang, baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya masing-masing dalam hal terjadinya kejahatan. Hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korbannya memang berbeda, dan bahkan dalam beberapa hal bertentangan. Dalam kaitan ini, Andi Mattalattaberpendapat, “Hakekat dari suatu kejahatan seharusnya juga dilihat sebagai sesuatu yang menimbulkan kerugian pada korban, maka dengan demikian, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku harus pula memperhatikan kepentingan korban.” Karena terjadinya suatu kejahatan, menurut Stphen Schafer, dalam teorinya yang terkenal dengan Criminal-Victim Relationship, adalah karena antarhubungan korban dengan pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya terdapat functional responsibility.
Berdasarkan teori Criminal-Victim Relationship ini, maka keterlibatan korban akan berpengaruh pada tingkat kesalahan pelaku kejahatan. Lebih lanjut, tingkat kesalahan ini akan berpengaruh pula pada aspek pertanggungjawaban pidana. Maka sebaliknya, seharusnya keterlibatan korban itu sendiri juga mempengaruhi aspek pelayanan dalam mewujudkan perlindungan terhadap kepentingannya, baik dalam wujud kompensasi maupun restitusi, sehingga fungsi dan peranan korban dalam hal ini tidak semata-semata berorientasi pada kepentingan peradilan pidana atau dalam rangka penegakan ketertiban seperti diuraiakan di atas, melainkan seyogyanya juga berorientasi pada perlindungan terhadap kepentingannya secara kongkrit.Bertolak dari uraian di atas, menurut Iswanto,“maka masalah utama atau obyek hukum pidana seyogyanya meliputi, di samping masalah tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana, juga masalah korban.”Mengingat kebijakan kriminal yang ditempuh saat ini lebih berorientasi pada pelaku, terbukti tidak berhasil memberantas kejahatan, sehubungan dengan itu tentu saja akibat negatif terhadap korban, baik korban dalam pengertian individu maupun kolektif juga tidak dapat dihindari, sehingga dengan demikian kebijakan kriminal perlu diubah, yaitu di samping berorientasi pada pelaku kejahatan juga terhadap korban secara seimbang.
Dalam kaitan ini, Made Darma Weda berpendapat, negara melalui aparatnya berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah kejahatan yang terjadi adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula. Sehingga, di samping melakukan pengusutan (tindakan) terhadap pelaku kejahatan, negara juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan korban, dalam arti hak-hak korban juga harus diberdayakan dalam sistem peradilan pidana.Di samping apa yang diuraikan di atas, Andi Mattalatta menambahkan, “Keterlibatan negara dan masyarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan karena hanya negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan dasar pemikiran, bahwa negara berkewajiban untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan para warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya.”
Dalam kaitannya dengan keterlibatan negara untuk melindungi secara konkret dan individual terhadap korban, Mardjono Reksodiputro menulis ada dua arus bawah yang perlu diketahui yang mungkin telah membawa viktimologi (sebagai ilmu yang mempelajari tentang korban) mencuat ke atas dan menarik perhatian para ilmuwan. Pertama, adalah berdasarkan pada kerangka pemikiran, bahwa negara turut bersalah dalam hal terjadinya penimbulan korban, dan karena itu sewajarnyalah negara memberikan kompensasi (compensation) kepada si korban, di samping kemungkinan adanya restitusi (restitution) yang diberikan oleh si pelaku kepada korban. Kedua adalah aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivistis (yang mencari sebab musabab kejahatan, etiologi kriminal) dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (pendekatan kriminologi kritis, critical criminology). Kedua pemikiran di atas telah membuka dimensi-dimensi baru dalam melihat gejala kejahatan ini, cara-cara penanggulangannya dan peranan negara serta masyarakat dalam terjadinya peristiwa kejahatan itu.
Hak-Hak Saksi dan Korban
Selama ini, saksi hanya dibebani kewajiban dan tidak mempunyai hak. Hal ini seperti dapat disimpulkan dari redaksi Pasal 224 KUHP:
“Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, dalam perkara pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan…”
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, walaupun belum maksimal, namun perhatian terhadap saksi dan korban telah mulai mendapat pengaturan, yaitu sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yang selengkap berbunyi:
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiannya yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungandan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapat identitas baru;
j. Mendapat tempat kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biayatransportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.[5]
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 membedakan dua jenis hak korban. Korban kejahatan ”konvensional” ternyata tidak berhak atas bantuan medis dan bantuan rehabilitas psiko-sosial. Hak ini hanya diberikan kepada korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di samping itu, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, melalui LPSK, berhak mengajukan kompensasi dan restitusi. Sedangkan korban kejahatan “konvensional” hanya berhak mengajukan restituís saja.
BAB III
PENUTUP
1. Kebijakanperumusansistempemidanaanyang berorientasi pada korban dalam hukum positif saatini.
Kebijakanperumusansistempemidanaanyang berorientasi pada korban secara in concreto dalam hukumpositifsaatinitidakadadalamketentuaninduk KUHP/WvS,namunhanyaadapadasebagiankecil ketentuan perungang-undangan di luarnya, sedangkan pada sebagian besarnya masih berorientasipadapelakutindakpidana. Terjadi kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam ketentuan perundang-undangandiluarKUHP/WvSmerupakan bentuk kebijakan murni yang tidak terjalin secara sistemdenganinduknya.
Dalam hukum pidana materiil kebijakan perumusanperlindungankorban dalam“Perumusan tindak pidana (kriminalisasi) dan Perumusan pertanggung-jawabanpidana”, “Perumusan pidana/pemidanaan”,“PidanaTambahan”“Tindakan” dan “Perumusan pemidanaan” membuktikan belum terbangun suatu kebijakan perumusan sistem pemidanaanyangintegral.
Dalam hukum pidana formil ketentuan prosedural yang dapat mengakomodasi berbagai bentuk perlindungan korban termasuk “Upaya PenyelesaianSengketaDiLuarPengadilan”tersebar diberbagaiketentuanperundang-undangan.
Dalam hukum pelaksanaan pidana kebijakan perumusan perlindungan korban dalam ketentuan perundang-undangan ada keragaman “kelengkapan peraturan pelaksanaan”, merupakan wujud adanya kebijakanperumusanyangtidakberpola.
2. Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukum positif yangakandatang.
Dalamhukumpidanamateriilsubstansiyang terkait dengan perlindungan korban dapat dimasukkan/diaturdalam ”aturan umum” (general rules) dan”aturan khusus” (specialrules).
Ruang lingkup ”aturan umum” (general rules) meliputi;
perumusan”asas-asasHukumPidana”,perumusan ”jenis/bentuk-bentuk sanksi pidana/tindakan” yg berorientasi pada korban, baik untuk pelaku orang maupun korporasi; perumusan ”tujuan dan pedoman pemidanaan”; perumusan ”aturan pemidanaan”. Ruang lingkup ”aturan khusus” (special rules) ada dalamketentuanperumusandelik/tindakpidana.
Dalam hukum pidana formil substansi yang terkait dengan perlindungan korban terdapat dalam: perumusan tentang kedudukan/posisikorban dalam proses peradilan; perumusan bentuk-bentuk sanksi; perumusan tentang hak-hak korban; perumusan tentang penyelesaian di luar pengadilan antara pelakudankorban(antaralainmasalahmediasi);dan perumusan tentang akibat/konsekuensi hukum dari penyelesaiandiluarpengadilan.
Dalam hukum pelaksanaan pidana substansi yangterkaitdenganperlindungankorban meliputi: perumusan aturan pelaksanaan sanksi/tindakan (ganti rugi/kompensasi/rehabilitasi);dan sistem pengawasan.
Keterpaduan substansi bidang hukum pidana materiil,hukumpidanaformildanhukumpelaksanaan pidanadiatasdapat dijadikan“Standar Kebijakan Ideal” dalam “Kebijakan perumusan sistem pemidanaan yang berorientasi pada korban dalam hukumpositifyangakandatang”.
DAFTAR PUSTAKA
J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan. Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya,
Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 2000)
Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 2000),
L.H.C. Hulsman, Afscheid van Het Strafrecht een Pleidooi voor Zelfregulering, atau Selamat Tinggal Hukum Pidana Menuju Swa Regulasi, terj. Wonosutanto (Surakarta, 1999)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
[1]. J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan. Pusat Studi Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1979, hlm. 7.
[2]Mudzakkir, Persepsi Korban Kejahatan Terhadap Peradilan Pidana, Lembaga Penelitian UII,
1996, hlm. 10.
[3] Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 2000), hal. 43 – 44.
[4] L.H.C. Hulsman, Afscheid van Het Strafrecht een Pleidooi voor Zelfregulering, atau Selamat Tinggal Hukum Pidana Menuju Swa Regulasi, terj. Wonosutanto (Surakarta, 1999), Jilid II, halaman 29.
[5] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar