BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Maka setiap tindakan yang bertentangan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar hukum yang paling hakiki disamping produk-produk hukum lainnya. Hukum tersebut harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan Alinea ke-empat yaitu membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan. Dengan perkembangan jaman yang semakin pesat membuat banyak pergeseran dalam sistem sosial dalam masyarakat. Salah satunya perubahan ekonomi yang semakin memburuk akibat dampak dari krisis global yang melanda hampir di seluruh bagian dunia, tidak terkecuali di Negara Indonesia. Dengan tingginya tekanan ekonomi yang menuntut setiap orang untuk memenuhi setiap kebutuhannya. Individu dalam melaksanakan usaha guna memenuhi kebutuhannya, individu harus melakukan interaksi diantara anggota masyarakat lainnya.
Kita masih ingat tentang kasus Mesuji yang terjadi pada bulan April 2011. Peristiwa di Desa Sungai Sodong dipicu oleh konflik tanah. Dimana pada tahun 1997 terjadi perjanjian kerjasama antara PT SWA dengan warga, terkait dengan 564 bidang tanah seluas 1070 ha milik warga untuk diplasmakan.
Perjanjian tersebut untuk masa waktu 10 tahun, setelah itu akan dikembalikan lagi kepada warga. Selama kurun waktu 10 tahun, setiap tahunnya warga juga dijanjikan akan mendapat kompensasi.
Namun hingga saat ini perusahaan ternyata tidak memenuhi perjanjian tersebut. Akhirnya pada bulan april 2011 masyarakat Sungai Sodong mengambil kembali tanah tersebut melalui pendudukan.
Tidak juga mengembalikan tanah tersebut, perusahaan malah menuduh pendudukan tanah warga tersebut sebagai gangguan. Kemudian, pada tanggal 21 april 2011, dua orang warga yakni Indra (ponakan) dan Saytu (paman) sekitar pukul 10.00 WIB keluar rumah berboncengan bertujuan ingin membeli racun hama. Mereka melewati jalan poros perkebunan warga (bukan wilayah sengketa dan di luar Desa Sungai Sodong). Tidak ada yang mengetahui peristiwanya, tiba-tiba pada pukul 13.00 WIB tersebar kabar ada yang meninggal 2 orang. Berita itu sampai ke warga Sodong termasuk keluarga korban.
Mendengar berita tersebut, keluarga korban termasuk paman dan adiknya langsung menuju TKP dan menemukan Indra terkapar di jalan dengan luka tersayat lehernya(tidak sampai putus) dan diduga ada 3 luka tembak, dua di dada dan satu di pinggang. Sementara Saytu ditemukan di dekat perkebunan kelapa sawit atau sekitar 70 meter dari jasad Indra, dengan posisi tengkurap dalam keadaan sekarat. Satu yang masih sekarat mengatakan bahwa yang melakukan adalah satpam, pam swakarsa, dan aparat. Lalu, sekitar pukul 14.00 WIB, sebagian warga mendatangi base camp perusahaan dan ber unjuk rasa di situ. Mereka mempertanyakan, serta meminta pertanggujawaban mengapa keluarga mereka dibunuh.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa yang melatarbelakangi timbulnya konflik Mesuji?
2. Bagaimanakah Perlindungan Korban Kasus Mesuji?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Timbulnya Konflik Mesuji
Tiga kasus bentrokan fisik di mesuji saat ini dipicu oleh konflik agraria yang menempatkan pemilik modal pengelola perkebunan kelapa sawit berhadap-hadapan langsung dengan rakyat. Rakyat marah karena merasa tanah milik mereka dikuasai pihak perkebunan, sementara perkebunan merasa tanah yang mereka kelola berdasarkan izin Menteri Kehutanan diserobot warga. Pertama, kasus pengelolaan lahan milik adat di areal kawasan Hutan Taman Industri Register 45 Way Buaya tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu. Kasus ini telah mencuat pada Februari 2006. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1.533 hektar antara warga Desa Sei Sodong dengan PT. Sumber Wangi Alam yang berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap dua orang petani tak bersenjata di tengah kebun sawit pada 21 April 2011. Dan Ketiga, kasus tanah lahan sawit seluas 17 ribu hektar antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning dengan PT.Barat Selatan Makmur Investindo yang puncaknya berujung kematian Zaini pada 10 November 2011.
Pemicu konflik yang terjadi di areal kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu adalah karena pemerintah telah memperluas kawasan hutan dimana sebagian lahan merupakan tanah adat/ulayat. Tuntutan warga Desa Gunung Btu atas lahan seluas 7 ribu hektar, hanya dikabulkan 2.300 hektar untuk kemunian di enclave dari kawasan Hutan Tanaman Industri. Dan ketika warga adat memberikan lahan untuk dikelola kepada warga lokal pihak perusahaan dan aparat menstigma mereka sebagai perambah hutan.
Sedangkan pemicu konflik di daerah lain adalah tindakan pihak perkebunan sawit yang merampas dan menguasau tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10-17 tahun. Perusahaan berlindung di balik Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan. Undang-undang ini memberikan legalitas yang kuat kepada perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat.
A. Perlindungan Korban Kasus Konflik Mesuji
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) akan memberikan perlindungan saksi dan korban kasus Mesuji dengan surat 7/PR/LPSK/I/2012. Menindaklanjuti hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM, LPSK telah melakukan langkah guna pendalaman informasi secara langsung di lapangan, mengenai kebutuhan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam bentrokan berdarah di Kabupaten Mesuji, Lampung. Pendalaman informasi ini dilakukan melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum dan mengidentifikasi saksi dan korban ke wilayah desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji, ujarnya.
Hasil dari pendalaman informasi tersebut antara lain bahwa proses penegakan hukum atas kejadian penembakan dan bentrokan telah berjalan, dan ditangani langsung oleh Polda Lampung serta diawasi proses penanganannya oleh Bidang Propam Polda serta Irwasda.
Proses penanganan ini menyangkut kejadian penembakan terhadap Jaelani, Muslim, Robin, Rano Karno dan lain sebagainya yang berlokasi di divisi II.Selain itu, telah diperiksa 33 saksi dalam kasus penembakan di register 45 dan 22 saksi dalam kasus penembakan terhadap korban Jaelani, ucapnya.
Tim LPSK telah melakukan verifikasi dan mengidentifikasi ulang secara langsung data-data saksi dan korban. Dari sembilan korban yang terdapat dalam laporan TGPF. Tim telah mengidentifikasi lima korban yang secara teknis kemungkinan juga akan menjadi saksi serta tiga orang yang merupakan saksi fakta dalam kasus penembakan. Dari penelusuran tim, dari saksi maupun korban tersebut dua orang telah di BAP pihak kepolisian.
Mengingat adanya keterbatasan akses dan lokasi yang sulit terjangkau bagi saksi dan korban untuk melengkapi syarat formal dan materiil permohonan perlindungan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang LPSK, Tim LPSK telah membantu memfasilitasi proses adminsitrasi pengajuan permohonan.
Hasilnya, LPSK telah menerima tujuh permohonan perlindungan dari masyarakat di wilayah desa Sri Tanjung yang merupakan korban penembakan maupun orang yang statusnya berpotensi sebagai saksi dalam kasus penembakan.
Atas berbagai temuan dan identifikasi tersebut, LPSK menilai :
Pertama, saksi dan korban dalam kasus bentrokan berdarah di Mesuji, mengalami penderitaan yang signifikan, di antaranya luka yang cukup berat dan adanya trauma yang mendalam akibat peristiwa tersebut, terutama ketika mereka harus bersaksi dalam proses penegakan hukum.
Kedua, perlu adanya percepatan penanganan proses penegakan hukum agar konflik tidak berlarut larut di masyarakat dan memberikan kepastian hukum terhadap saksi dan korban dalam kasus tersebut, katanya.
Ketiga, memberikan apresiasi terhadap Polri yang telah membantu penanganan korban selama ini dan tindakan pengawasan internal terhadap sejumlah oknum polri yang terlibat dalam kasus ini.
Setelah menerima perlindungan pada 31 Januari 2012 lalu, tujuh orang korban bentrokan berdarah di Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji, Lampung, menandatangani perjanjian perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Perjanjian telah di tandatangani para korban, dengan demikian LPSK akan segera menindaklanjuti pemberian bantuan medis dan psikologis serta pendampingan terhadap saksi dan korban tersebut. Setelah penandatanganan perjanjian ini, akan melakukan koordinasi dengan penyidik terkait di Polres dan Polda Lampung untuk menginformasikan bahwa para saksi dan korban saat ini dalam program perlindungan LPSK.
Segala bentuk panggilan pemeriksaan terhadap saksi dan korban yang masuk dalam program perlindungan LPSK wajib di koordinasikan dengan LPSK, karena saat ini para korban dan saksi masih dalam proses pemulihan medis dan psikologis.
Selain itu, akan dipastikan proses hukum yang sedang berjalan saat ini. Bentuk perlindungan dan bantuan yang diberikan LPSK diberikan untuk mendukung proses penegakan hukum, sehingga proses penegakan hukum harus dipastikan berjalan sebagaimana mestinya. Sebelumnya pada pertengahan Januari 2012, LPSK telah melakukan langkah mendalam terkait tindak lanjut dari hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM. Yakni dengan menurunkan tim guna pendalaman informasi secara langsung di lapangan untuk memetakan kebutuhan perlindungan terhadap saksi dan korban dalam bentrokan berdarah di Mesuji.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam makalah ini ada dua masalah pokok yang dikaji, pertama adalah faktor – faktor yang menjadi sebab terjadinya konflik di mesuji, khususnya mengenai Masyarakat sebagai Korban dan kedua adalah Bagaimana Perlindungan Korban Kasus Mesuji.
Maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor yang melatarbelakangi timbulnya konflik Mesuji
Tiga kasus bentrokan fisik di mesuji saat ini dipicu oleh konflik agraria yang menempatkan pemilik modal pengelola perkebunan kelapa sawit berhadap-hadapan langsung dengan rakyat. Rakyat marah karena merasa tanah milik mereka dikuasai pihak perkebunan, sementara perkebunan merasa tanah yang mereka kelola berdasarkan izin Menteri Kehutanan diserobot warga.
2. Perlindungan Korban Kasus Mesuji
Setiap korban kejahatan, wajib mendapatkan perlindungan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban(LPSK) dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-undangPerlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksidan korbandalam proses peradilan pidana. Berbeda dengan beberapa negaralain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilanyang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakatyang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana. Di samping itu, minimnya perhatian yang serius oleh aparat penegak hukum terhadap saksi-korban membuat RUU ini harus selalu didesakkan hampir setiap tahun sejak 2001 hingga 2005 agar masuk dalam rencana Prolegnas.
B. Saran
Perlu adanya percepatan penanganan proses penegakan hukum agar konflik tidak berlarut larut di masyarakat. Perlu juga memberikan kepastian hukum terhadap saksi dan korban. LPSK hendaknya memberikan bantuan hukum kepada para tersangka agar prosesnya berjalan adil, serta mengupayakan perlindungan saksi, pelapor, atau korban yang terkait dengan kejadian ini.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
2. Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT.Buana Ilmu Populer.
3. Dikdik M.Arief dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Utama.
4. Lilik Mulyadi. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Victimologi. Denpasar: Djambatan.
5. Martiman Prodjomidjojo. 1995. Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I. Jakarta: Pradnya Pramita.
6. Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
7. Wirjono Prodjodikoro. 2002. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Bandung; PT.Refika Aditama.
8. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar