Percobaan
1. Berdasarkan Hukum Pidana Inggris
Percobaan dalam hukum pidana Inggris dipandang sebagai suatu misdemeanor (pelanggaran hukum
ringan). Untuk dapat dipidananya percobaan diperlukan pembuktian bahwa terdakwa
telah berniat melakukan perbuatan melanggar hukum dan ia telah melakukan
beberapa tindakan yang membentuk actus reus dari percobaan jahat yang dapat
dipidana.
2. Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
Percobaan melakukan kejahatan diatur
dalam Buku ke satu tentang Aturan Umum, Bab 1V pasal 53 dan 54 KUHP. Adapun
bunyi dari pasal 53 dan 54 KUHP berdasarkan terjemahan Badan Pembina Hukum
Nasional Departemen Kehakiman adalah sebagai berikut:
Pasal 53
a.
Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya
sendiri.
b.
Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,
dalam percobaan dikurangi sepertiga.
c.
Jika kejahatan diancam dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
d.
Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan
kejahatan selesai. Pasal 54
Mencoba melakukan pelanggaran tidak
dipidana.
Kedua pasal tersebut tidak memberikan
defenisi tentang apa yang dimaksud dengan percobaan melakukan kejahatan (poging),
yang selanjutnya dalam tulisan ini disebut dengan percobaan. Jika mengacu
kepada arti kata sehari-hari, percobaan itu diartikan sebagai menuju ke sesuatu
hal, akan tetapi tidak sampai kepada hal yang dituju itu, atau dengan kata lain
hendak berbuat sesuatu, sudah dimulai tetapi tidak selesai. Misalnya seseorang
bermaksud membunuh orang tetapi orangnya tidak mati, seseorang hendak mencuri
barang tetapi tidak sampai dapat mengambil barang itu,
Satu-satunya penjelasan yang dapat
diperoleh tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) KUHP adalah bersumber dari MvT
yang menyatakan:
“Poging tot misdrijf is dan de begonnen maar niet
voltooide uitvoering van het misdrijf, of wel de door een begin van uitvoering
geopenbaarde wil om een bepaald misdrijf te plegen.”
(Dengan demikian, maka percobaan untuk
melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai akan tetapi ternyata tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk
melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu
permulaan pelaksanaan).
Pasal 53 KUHP hanya menentukan bila (kapan) percobaan
melakukan kejahatan itu terjadi atau dengan kata lain Pasal 53 KUHP hanya
menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar seorang pelaku dapat dihukum
karena bersalah telah melakukan suatu percobaan. Syarat-syarat tersebut adalah
sebagai berikut:
a.
Adanya niat/kehendak dari pelaku;
b.
Adanya
permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu;
c.
Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena
kehendak dari pelaku.
Oleh karena itu agar seseorang dapat dihukum melakukan
percobaan melakukan kejahatan, ketiga syarat tersebut harus terbukti ada
padanya, dengan akta lain suatu percobaan dianggap ada jika memenuhi ketiga
syarat tersebut.
Percobaan seperti yang diatur dalam KUHP yang berlaku
saat ini menentukan, bahwa yang dapat dipidana adalah seseorang yang melakukan
percobaan suatu delik kejahatan, sedangkan percobaan terhadap delik pelanggaran
tidak dipidana, hanya saja percobaan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
pidana khusus dapat juga dihukum. Sebagai contoh seseorang yang melakukan
percobaan pelanggaran (mencoba melakukan pelanggaran) terhadap hal-hal yang
telah diatur dalam UU (drt) No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi,
dapat dipidana.
Menurut Loebby Loqman pembedaan antara kejahatan
ekonomi dengan pelanggaran ekonomi ditentukan oleh apakah perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja atau dengan tidak sengaja. Dianggap sebagai kejahatan
ekonomi jika perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja, tetapi jika perbuatan
tersebut dilakukan karena kelalaian pelaku maka hal ini dianggap sebagai
pelanggaran ekonomi (1996:3).
Selain itu ada juga beberapa kejahatan yang
percobaannya tidak dapat dihukum, misalnya percobaan menganiaya (Pasal 351 ayat
(5)), percobaan menganiaya binatang (Pasal 302 ayat (3), dan percobaan perang
tanding (Pasal 184 ayat (5).
MENS REA
Unsur Mens – rea dalam hukum pidana Inggris dijabarkan dan
diklasifikasikan menjadi:
a. Intention atau purposely. Dengan
pengertian istilah ini berarti bahwa seseorang tertuduh menyadari perbuatan dan
menghendaki akibatnya.
Contoh: A membunuh B dengan
motif balas dendam dan menghendaki kematian B.
b. Resklessness. Dengan pengertian istilah ini berarti tertuduh sudah dapat memperkirakan
atau menduga sebelum perbuatan dilaksanakan sebelum akibat yang akan terjadi;
akan tetapi tertuduh sesungguhnya tidak menghendaki akibat itu terjadi.
Contoh: A mengendarai
kendaraan bermotor melebihi batas kecepatan yang diperbolehkan di dalam kota,
dan menabrak pejalan kaki yang mengakibatkan pejalan kaki yang bersangkutan
luka – luka parah.
c. Negligence. Dengan pengertian ini
dimaksudkan bahwa tertuduh tidak menduga akibat yang akan terjadi, akan tetapi
dalam keadaan tertentu undang – undang mensyaratkan bahwa tertuduh harus sudah
dapat menduga akibat – akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang dilakukannya.
Contoh: A menyulut korek api
pada waktu ia berada di sebuah pompa bensin, sehingga mengakibatkan terbakarnya
pompa bensin tersebut dan banyak korban luka bakar atau mati karenannya.
2. Berdasarkan Hukum Pidana Indonesia
Unsur-unsur tindak pidana menurut
Moeljatno terdiri dari :
a. Kelakuan dan
akibat
b. Hal ikhwal
atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :
1) Unsur
subyektif atau pribadi
Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan,
misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam
perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP
jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau
yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal
tersebut
2) Unsur
obyektif atau non pribadi
Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya
pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan
pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan
pasal ini
Unsur keadaan ini dapat berupa
keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.
1) Unsur keadaan
yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP
Pasal 164 KUHP :
”barang siapa mengetahui
permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108,
113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah
dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian
atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan
pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah.”
Kewajiban untuk melapor kepada
yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang
tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan
tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu
adalah merupakan unsur tambahan.
Pasal 531 KUHP :
”barang siapa ketika
menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi
pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya
bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal,
dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah”.
Keharusan memberi pertolongan
pada orang yang sedang menghadapi bahaya maut jika tidak memberi
pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam
keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut
tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat
penuntutan.
2) Keadaan tambahan yang memberatkan
pidana
Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP
diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan
tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun
(pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7
tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan
tambahan yang memberatkan pidana
3) Unsur melawan hukum
Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu
dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara
tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan
perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya
pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum
setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan
adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila
dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya
harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang
didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada.
Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur
tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan
barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan
hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar