Senin, 14 Januari 2013

Makalah Kemahiran Bantuan Hukum



I.          PENDAHULUAN

Dalam kedudukannya sebagai sutau profesi yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile maka advokat, berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, memiliki kewajiban dalam memberikan bantuan hukum untuk kaum miskin dan buta huruf.. Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab sosial dari advokat. Oleh sebab itu maka advokat dituntut agar dapat mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin yang membutuhkan bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Pemberian bantuan hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich namun harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi sosial dari profesi advokat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara tegas mngenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sehingga dapat diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari organisasi profesi. 
Hak atas bantuan hukum merupakan salah satu dari hak asasi yang harus direkognisi dan dilindungi. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1) dan Pasal 28 Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut maka hak atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki dan hanya ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum yang berdaulat (supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial) merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum.
Dalam perkembangannya maka adanya program bantuan hukum juga merupakan bagian yang terpenting dari rekognisi dan perlindungan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum yang dimaksud disini adalah yang khusus diberikan kepada kaum miskin dan buta huruf. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin dan buta huruf adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to justice) yang merata. Salah satu bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan atau pendampingan dari seorang advokat (access to legal counsel). 

II.          PERMASALAHAN

Sehubungan dengan adanya kajian konseptual mengenai peran dan fungsi sosial profesi advokat yang memiliki kewajiban dalam pemberian bantuan hukum, maka muncul beberapa permasalahan yang terkait dengan perihal pengaturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terdapat beberapa rumusan pertanyaan, yaitu sebagai berikut :
1.        Bagaimana pengaturan tentang kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat termasuk pengaturan mengenai sanksi dalam hal adanya advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut ? 
2.        Bagaimana bentuk pengawasan dari organisasi profesi advokat terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat ? 






III.          PEMBAHASAN
Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak terikat pada hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan aparat negara sehingga advokat dihaapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat atau kepentingan publik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari advokat yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga bertindak sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan hak-hak publik. Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada status profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu sebagai berikut :
1.        Dimensi kemanusiaan, yang diartikan bahwa walaupun advokat menerima imbalan honorarium atau legal fee dalam melakukan perkerjaannya namun pada dasarnya advokat tetap harus berpedoman dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan khususnya dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya. Dalam melakukan pembelaan maka harus didasarkan pada motivasi aspek kemanusiaan ;
2.        Dimensi pertanggungjawaban moral, yang diartikan bahwa advokat dalam melakukan pembelaan kepada kliennya harus selalu melihat dan mempertimbangkan dua hal pokok, yaitu adanya ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam melakukan pembelaan dan adanya dasar moral serta etika. Berkaitan dengan hal tersebut maka hak atau kepentingan hukum dari klien yang dibelanya maka tidak boleh bertentangan dengan moralitas umum ataupun etika profesi yang wajib untuk dijunjung lebih tinggi ;
3.        Dimensi kebebasan, kemandirian dan independensi profesi, Hal ini diartikan bahwa advokat ditantang untuk selalu memperjuangkan tegaknya profesi yang mandiri, bebas dan independen dari intevensi kekuasaan dalam melakukan pembelaan terhadap kliennya. Oleh karena itu maka untuk mendukung dimensi yang ketiga tersebut dibutuhkan suatu organisasi advokat yang kuat serta memiliki kode etik termasuk memiliki kapabilitas untuk membina dan menjaga kedisiplinan anggota profesinya ;
4.        Dimensi pembangunan negara hukum, yang diartikan bahwa profesi advokat dapat diimplementasikan secara ideal apabila proses penegakan hukum juga telah berjalan secara ideal. Dengan perkataan lain, bahwa advokat memiliki kepentingan demi profesi hukumnya dan demi kepentingan kliennya. Oleh sebab itu maka perlu untuk dibangun esensi dari sebuah negara hukum yang ideal ;
5.        Demensi pembangunan demokrasi, yang diartikan bahwa suatu negara hukum sebagaimana yang diuraikan dalam dimensi keempat hanya dapat dilaksanakan selaras dengan pembangunan demokrasi. Ibarat suatu mata uang maka antara pembangunan hukum dan pembangunan demokrasi dapat saling memiliki relasi. Demokrasi hanya dapat ditegakan apabila didukung oleh negara yang berdasarkan hukum dalam hal mana menjunjung supremasi hukum. Demokrasi akan berubah menjadi anarki apabila tidak didukung oleh hukum. Sebaliknya, negara hukum tanpa demokrasi akan menciptakan suatu negara yang bertipikal penindas.   
Berkaitan dengan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh advokat dan dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar atau penyangga dari pelaksanaan sistem peradilan yang adil dan berimbang (fair trial) maka peneliti setuju dengan pendapat Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, yang menyatakan bahwa advokat memiliki peran bukan hanya sebagai pembela konstitusi namun juga sebagai  dengan pembela hak asasi manusia. Oleh karena itu, maka advokat memiliki fungsi sosial dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu fungsi sosial tersebut adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin dan buta hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia yang dilindungi oleh Undang-Undang.
Menurut Daniel Panjaitan, SH, LLM berpendapat bahwa pada dasarnya pelaksanaan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi kaum miskin dan buta hukum tersebut memiliki tujuansebagai berikut : 
1.        Bagian dari pelaksanaan hak-hak kosntitusional sebagaimana yang diatur dan dijamin oleh UUD 1945 berikut amandemennya. Hak atas bantuan hukum merupakan salah satu dari hak asasi yang harus direkognisi dan dilindungi. Dengan mengacu kepada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1) dan Pasal 28 Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut maka hak atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki dan hanya ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum yang berdaulat (supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial) merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum ; 
2.        Bagian dari implementasi asas bahwa hukum berlaku bagi semua orang. Adanya keterbatasan pengertian dan pengetahuan hukum bagi individu yang buta hukum untuk memahami ketentuan yang tertulis dalam Undang-Undang maka diperlukan peran dan fungsi advokat untuk memberikan penjelasan dan bantuan hukum ; 
3.        Bagian dari upaya standarisasi pelaksanaan peran dan fungsi penegakan hukum dari advokat.
Berdasarkan pada pertimbangan peran dan fungsi sosial advokat tersebut maka kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 22 ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Menurut peneliti, bahwa pengaturan yang bersifat penegasan mengenai kewajiban sosial advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada kaum miskin merupakan suatu hal yang patut dihargai. Hal ini mengingat bahwa dalam suatu negara berkembang masih banyak terdapat individu atau keluarga yang hidup miskin bahkan dibawah garis kemiskinan. Bantuan hukum yang diberikan oleh advokat tersebut tentunya berpedoman pada penghargaan terhadap nilai kemanusiaan termasuk didalamnya penghargaan terhadap hak asasi manusia. Selanjutnya, kewajiban memberikan bantuan hukum tersebut diharapkan mampu memberikan kesadaran dan pengetahuan khususnya mengenai hak-hak dari kaum miskin yang semakin lama dimarjinalkan oleh kebijakan dan proses pembangunan. 
Walaupun telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka peneliti telah mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi potensi kesulitan pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat. Mulai dari perihal optimalisasi pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sampai dengan perihal ketiadaan tolok ukur yang definitif untuk menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat dikategorikan sebagai pencari keadilan yang tidak mampu.
Dalam berbagai wacana telah dijelaskan bahwa hal-hal tersebut akan dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003. Namun sampai dengan dibuatnya penelitian ini, Peraturan Pemerintah yang mengatur hal-hal tersebut belum pernah diterbitkan. Selain itu, menurut peneliti, akan muncul kekhawatiran adanya dissinkronisasi dan disharmonisasi Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kewajiban pemebrian bantuan hukum oleh advokat dengan Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum yang telah disusun draft akademiknya oleh berbagai pihak. Permasalahan ini pernah peneliti sampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) bekerja sama dengan The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).
Perihal sanksi maka dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang telah mengatur beberapa jenis sanksi mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 6 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentang dengan kewajiban profesi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003. Oleh karena itu, maka sanksi-sanksi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dapat diberlakukan kepada advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberianbantuan hukum secara cuma-cuma. 
Selanjutnya, pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat tidak dapat dilepaskan dari peranan organisasi advokat itu sendiri. Hal dikarenakan alasan bahwa organisasi advokat berfungsi untuk melakukan pengawasan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa pengawasan terhadap advokat dilakukan oleh Organisasi advokat. Sedangkan dalam  Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa pengawasan tersebut dilakukan dengan tujuan agar advokat selalu menjunjung tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan tugasnya.
Sehubungan dengan perihal pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat maka pengawasan yang dilakukan oleh organisasi profesi belum dilakukan secara optimal. Adapun bentuk pengawasan yang selama ini dilakukan oleh organisasi profesi lebih cenderung kepada adanya pelanggaran-pelanggaran kode etik yang bukan bersifat tidak dilaksanakannya kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat.
Menurut peneliti, adanya kondisi belum dilakukannya pengawasan secara optimal dari organisasi profesi terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu sebagai berikut : 
1.        Belum dilakukannya optimalisasi pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma pengaturan sanksi yang tegas dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 terhadap advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma  ; 
2.        Ketiadaan pengaturan mengenai teknis pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma yang seharusnya dirumuskan oleh organisasi profesi ; 
3.        Ketiadaan pengaturan yang bersifat teknis mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma.












IV.          KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari pembahasan yang telah diuraikan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1.      Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah mengatur secara tegas mngenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi.Dalam hal advokat tidak melakukan kewajiban profesi tersebut maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Oleh karena itu, maka UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut juga telah mengatur mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat diberlakukan mulai dari sanksi teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara danpemberhentian tetap. 
2.      Organisasi profesi memiliki peran yang penting dan determinan dalam mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cumua-cuma oleh advokat. Hal ini didasarkan alasan bahwa organisasi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada advokat.
Berdasarkan hasil konklusi sebagaimana yang telah diuraikan tersebut maka selanjutnya dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut : 
1.        Untuk mendukung pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat sebagai bagian dari kewajiban profesi maka perlu dirumuskan peraturan pemerintah. Namun dalam proses perumusan peraturan pemerintah tersebut perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi kondisi dissinkronisasi dan disharmonisasi dengan rancangan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum sebagaimana yang telah dirumuskan oleh berbagai pihak. 
2.        Organisasi profesi dapat segera melakukan perumusan ketentuan yang bersifat teknis berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat. Selain itu, organisasi profesi juga perlu melakukan pengawasan secara melekat terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut oleh advokat. 

V.          DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia. LP3ES Indonesia. Jakarta. 2007. 
_________. Arus Pemikiran Konstitusionalisme : Advokat. Kata Hasta Pustaka. Jakarta. 2007. 
Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak asasi Manusia. Mandar Maju. Bandung. 2001.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), “Bantuan Hukum,” diperoleh dari www.pemantauperadilan.com 20 Desember 2004
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Tidak ada komentar: