I.
PENDAHULUAN
Dalam kedudukannya sebagai sutau profesi
yang mulia atau lebih dikenal dengan istilah officium nobile maka advokat,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, memiliki
kewajiban dalam memberikan bantuan hukum untuk kaum miskin dan buta huruf..
Secara ideal dapat dijelaskan bahwa bantuan hukum merupakan tanggung jawab
sosial dari advokat. Oleh sebab itu maka advokat dituntut agar dapat
mengalokasikan waktu dan juga sumber daya yang dimilikinya untuk orang miskin
yang membutuhkan bantuan hukum secara cuma-cuma atau probono. Pemberian bantuan
hukum oleh advokat bukan hanya dipandang sebagai suatu kewajiban an sich namun
harus dipandang pula sebagai bagian dari kontribusi dan tanggung jawab sosial (social
contribution and social liability) dalam kaitannya dengan peran dan fungsi
sosial dari profesi advokat. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
telah mengatur secara tegas mngenai kewajiban advokat untuk memberikan bantuan
hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi. Dalam hal advokat
tidak melakukan kewajiban profesi maka dapat dikategorikan telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi sehingga dapat
diberlakukan sanksi. Untuk mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma oleh advokat maka dibutuhkan peran yang optimal dari
organisasi profesi.
Hak atas bantuan hukum merupakan
salah satu dari hak asasi yang harus direkognisi dan dilindungi. Dengan mengacu
kepada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1)
dan Pasal 28 Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut maka hak
atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki
dan hanya ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum yang berdaulat
(supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang
diduga bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial)
merupakan syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum.
Dalam perkembangannya maka adanya
program bantuan hukum juga merupakan bagian yang terpenting dari rekognisi dan
perlindungan hak asasi manusia. Pemberian bantuan hukum yang dimaksud disini
adalah yang khusus diberikan kepada kaum miskin dan buta huruf. Adapun tujuan
yang ingin dicapai dari program bantuan hukum kepada kaum miskin dan buta huruf
adalah untuk terwujudnya akses keadilan (access to justice) yang
merata. Salah satu bentuk dari bantuan hukum tersebut adalah adanya pembelaan
atau pendampingan dari seorang advokat (access to legal counsel).
II.
PERMASALAHAN
Sehubungan dengan adanya kajian konseptual
mengenai peran dan fungsi sosial profesi advokat yang memiliki kewajiban dalam
pemberian bantuan hukum, maka muncul beberapa permasalahan yang terkait dengan
perihal pengaturan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan
hukum tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terdapat beberapa
rumusan pertanyaan, yaitu sebagai berikut :
1.
Bagaimana pengaturan tentang kewajiban pemberian
bantuan hukum oleh advokat termasuk pengaturan mengenai sanksi dalam hal adanya
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut
?
2.
Bagaimana bentuk pengawasan dari organisasi
profesi advokat terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh
advokat ?
III.
PEMBAHASAN
Advokat sebagai profesi mulia atau officium nobile memiliki
kebebasan dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini diartikan bahwa advokat tidak
terikat pada hierarki birokrasi. Selain itu, advokat juga bukan merupakan
aparat negara sehingga advokat dihaapkan mampu berpihak kepada kepentingan masyarakat
atau kepentingan publik.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka kedudukan sosial dari
advokat yang demikian itu telah menimbulkan pula tanggung jawab moral bagi
advokat yang bukan hanya bertindak sebagai pembela konstitusi namun juga
bertindak sebagai pembela hak asasi manusia, khusunya yang berkaitan dengan
hak-hak publik. Akibat dari adanya tanggung jawab moral yang melekat pada pada
status profesinya maka advokat memiliki lima dimensi perjuangan ideal yaitu
sebagai berikut :
1.
Dimensi
kemanusiaan, yang diartikan bahwa walaupun advokat menerima imbalan honorarium
atau legal fee dalam melakukan perkerjaannya namun pada dasarnya advokat tetap
harus berpedoman dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan khususnya dalam
melakukan pembelaan terhadap kliennya. Dalam melakukan pembelaan maka harus
didasarkan pada motivasi aspek kemanusiaan ;
2.
Dimensi
pertanggungjawaban moral, yang diartikan bahwa advokat dalam melakukan
pembelaan kepada kliennya harus selalu melihat dan mempertimbangkan dua hal
pokok, yaitu adanya ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam melakukan
pembelaan dan adanya dasar moral serta etika. Berkaitan dengan hal tersebut
maka hak atau kepentingan hukum dari klien yang dibelanya maka tidak boleh
bertentangan dengan moralitas umum ataupun etika profesi yang wajib untuk
dijunjung lebih tinggi ;
3.
Dimensi
kebebasan, kemandirian dan independensi profesi, Hal ini diartikan bahwa
advokat ditantang untuk selalu memperjuangkan tegaknya profesi yang mandiri,
bebas dan independen dari intevensi kekuasaan dalam melakukan pembelaan
terhadap kliennya. Oleh karena itu maka untuk mendukung dimensi yang ketiga
tersebut dibutuhkan suatu organisasi advokat yang kuat serta memiliki kode etik
termasuk memiliki kapabilitas untuk membina dan menjaga kedisiplinan anggota profesinya
;
4.
Dimensi
pembangunan negara hukum, yang diartikan bahwa profesi advokat dapat
diimplementasikan secara ideal apabila proses penegakan hukum juga telah
berjalan secara ideal. Dengan perkataan lain, bahwa advokat memiliki
kepentingan demi profesi hukumnya dan demi kepentingan kliennya. Oleh sebab itu
maka perlu untuk dibangun esensi dari sebuah negara hukum yang ideal ;
5.
Demensi
pembangunan demokrasi, yang diartikan bahwa suatu negara hukum sebagaimana yang
diuraikan dalam dimensi keempat hanya dapat dilaksanakan selaras dengan
pembangunan demokrasi. Ibarat suatu mata uang maka antara pembangunan hukum dan
pembangunan demokrasi dapat saling memiliki relasi. Demokrasi hanya dapat
ditegakan apabila didukung oleh negara yang berdasarkan hukum dalam hal mana
menjunjung supremasi hukum. Demokrasi akan berubah menjadi anarki apabila tidak
didukung oleh hukum. Sebaliknya, negara hukum tanpa demokrasi akan menciptakan
suatu negara yang bertipikal penindas.
Berkaitan dengan tanggung jawab moral yang dimiliki oleh advokat
dan dalam kedudukannya sebagai salah satu pilar atau penyangga dari pelaksanaan
sistem peradilan yang adil dan berimbang (fair trial) maka peneliti setuju
dengan pendapat Dr. Adnan Buyung Nasution, SH, yang menyatakan bahwa advokat
memiliki peran bukan hanya sebagai pembela konstitusi namun juga
sebagai dengan pembela hak asasi manusia. Oleh karena itu, maka
advokat memiliki fungsi sosial dalam melaksanakan tugasnya. Salah satu fungsi
sosial tersebut adalah memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi
kaum miskin dan buta hukum sebagai bagian dari hak asasi manusia yang
dilindungi oleh Undang-Undang.
Menurut Daniel Panjaitan, SH, LLM berpendapat bahwa pada dasarnya
pelaksanaan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma khususnya bagi
kaum miskin dan buta hukum tersebut memiliki tujuansebagai berikut :
1.
Bagian
dari pelaksanaan hak-hak kosntitusional sebagaimana yang diatur dan dijamin
oleh UUD 1945 berikut amandemennya. Hak atas bantuan hukum merupakan salah satu
dari hak asasi yang harus direkognisi dan dilindungi. Dengan mengacu kepada
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 termasuk ketentuan Pasal 28 Huruf D ayat (1) dan
Pasal 28 Huruf I ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen tersebut maka hak
atas bantuan hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga yang wajib dimiliki
dan hanya ada di dalam sistem negara hukum. Adanya prinsip hukum yang berdaulat
(supremacy of law) dan adanya jaminan terhadap setiap orang yang diduga
bersalah untuk mendapatkan proses peradilan yang adil (fair trial) merupakan
syarat yang harus dijamin secara absolut dalam negara hukum ;
2.
Bagian
dari implementasi asas bahwa hukum berlaku bagi semua orang. Adanya
keterbatasan pengertian dan pengetahuan hukum bagi individu yang buta hukum
untuk memahami ketentuan yang tertulis dalam Undang-Undang maka diperlukan
peran dan fungsi advokat untuk memberikan penjelasan dan bantuan hukum ;
3.
Bagian
dari upaya standarisasi pelaksanaan peran dan fungsi penegakan hukum dari
advokat.
Berdasarkan pada pertimbangan peran dan fungsi sosial advokat
tersebut maka kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat telah diatur
secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Dalam Pasal 22 ayat (1) tersebut dijelaskan bahwa advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu. Menurut peneliti, bahwa pengaturan yang bersifat penegasan mengenai
kewajiban sosial advokat untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
kaum miskin merupakan suatu hal yang patut dihargai. Hal ini mengingat bahwa
dalam suatu negara berkembang masih banyak terdapat individu atau keluarga yang
hidup miskin bahkan dibawah garis kemiskinan. Bantuan hukum yang diberikan oleh
advokat tersebut tentunya berpedoman pada penghargaan terhadap nilai
kemanusiaan termasuk didalamnya penghargaan terhadap hak asasi manusia.
Selanjutnya, kewajiban memberikan bantuan hukum tersebut diharapkan mampu
memberikan kesadaran dan pengetahuan khususnya mengenai hak-hak dari kaum
miskin yang semakin lama dimarjinalkan oleh kebijakan dan proses
pembangunan.
Walaupun telah diatur secara tegas dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, maka peneliti telah
mengidentifikasi beberapa hal yang menjadi potensi kesulitan pelaksanaan
kewajiban pemberian bantuan hukum oleh advokat. Mulai dari perihal optimalisasi
pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap advokat yang tidak melaksanakan
kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma sampai dengan perihal
ketiadaan tolok ukur yang definitif untuk menentukan pihak-pihak mana saja yang
dapat dikategorikan sebagai pencari keadilan yang tidak mampu.
Dalam berbagai wacana telah dijelaskan bahwa hal-hal tersebut akan
dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana yang diperintahkan oleh Pasal
22 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2003. Namun sampai dengan dibuatnya penelitian
ini, Peraturan Pemerintah yang mengatur hal-hal tersebut belum pernah
diterbitkan. Selain itu, menurut peneliti, akan muncul kekhawatiran adanya
dissinkronisasi dan disharmonisasi Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai
kewajiban pemebrian bantuan hukum oleh advokat dengan Rancangan Undang-Undang
Bantuan Hukum yang telah disusun draft akademiknya oleh berbagai pihak.
Permasalahan ini pernah peneliti sampaikan dalam acara Focus Group Discussion
(FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) bekerja sama dengan
The Indonesian Legal Resource Center (ILRC).
Perihal sanksi maka dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003
tentang telah mengatur beberapa jenis sanksi mulai dari teguran lisan, teguran
tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Apabila dihubungkan
dengan ketentuan Pasal 6 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat maka
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan yang bertentang dengan
kewajiban profesi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU Nomor
18 Tahun 2003. Oleh karena itu, maka sanksi-sanksi sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 dapat diberlakukan kepada advokat
yang tidak melaksanakan kewajiban pemberianbantuan hukum secara
cuma-cuma.
Selanjutnya, pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum oleh
advokat tidak dapat dilepaskan dari peranan organisasi advokat itu sendiri. Hal
dikarenakan alasan bahwa organisasi advokat berfungsi untuk melakukan
pengawasan. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 12 ayat (1) UU
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa pengawasan terhadap
advokat dilakukan oleh Organisasi advokat. Sedangkan dalam Pasal 12
ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menerangkan bahwa
pengawasan tersebut dilakukan dengan tujuan agar advokat selalu menjunjung
tinggi kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan
tugasnya.
Sehubungan dengan perihal pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan
hukum oleh advokat maka pengawasan yang dilakukan oleh organisasi profesi belum
dilakukan secara optimal. Adapun bentuk pengawasan yang selama ini dilakukan
oleh organisasi profesi lebih cenderung kepada adanya pelanggaran-pelanggaran
kode etik yang bukan bersifat tidak dilaksanakannya kewajiban pemberian bantuan
hukum secara cuma-cuma oleh advokat.
Menurut peneliti, adanya kondisi belum dilakukannya pengawasan
secara optimal dari organisasi profesi terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian
bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat disebabkan oleh beberapa alasan,
yaitu sebagai berikut :
1.
Belum
dilakukannya optimalisasi pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap advokat yang
tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma
pengaturan sanksi yang tegas dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 terhadap advokat yang
tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma ;
2.
Ketiadaan
pengaturan mengenai teknis pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara
cuma-cuma yang seharusnya dirumuskan oleh organisasi profesi ;
3.
Ketiadaan
pengaturan yang bersifat teknis mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap
advokat yang tidak melaksanakan kewajiban memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma.
IV.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Berdasarkan dari pembahasan yang telah
diuraikan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat telah mengatur secara tegas mngenai kewajiban advokat untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma sebagai bagian dari kewajiban profesi.Dalam hal
advokat tidak melakukan kewajiban profesi tersebut maka dapat dikategorikan
telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban profesi
sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Oleh karena itu, maka UU Nomor 18 Tahun 2003 tersebut juga telah
mengatur mengenai jenis-jenis sanksi yang dapat diberlakukan mulai dari sanksi
teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara danpemberhentian
tetap.
2. Organisasi profesi memiliki peran yang penting
dan determinan dalam mendukung pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum
secara cumua-cuma oleh advokat. Hal ini didasarkan alasan bahwa organisasi
memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan kepada advokat.
Berdasarkan hasil konklusi sebagaimana yang telah diuraikan
tersebut maka selanjutnya dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :
1.
Untuk
mendukung pelaksanaan pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma oleh advokat
sebagai bagian dari kewajiban profesi maka perlu dirumuskan peraturan
pemerintah. Namun dalam proses perumusan peraturan pemerintah tersebut perlu
dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi kondisi dissinkronisasi dan
disharmonisasi dengan rancangan Undang-Undang tentang Bantuan Hukum sebagaimana
yang telah dirumuskan oleh berbagai pihak.
2.
Organisasi
profesi dapat segera melakukan perumusan ketentuan yang bersifat teknis
berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma
oleh advokat. Selain itu, organisasi profesi juga perlu melakukan pengawasan
secara melekat terhadap pelaksanaan kewajiban pemberian bantuan hukum tersebut
oleh advokat.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution. Bantuan Hukum Di Indonesia. LP3ES
Indonesia. Jakarta. 2007.
_________. Arus Pemikiran Konstitusionalisme : Advokat.
Kata Hasta Pustaka. Jakarta. 2007.
Bambang Sunggono dan Aries Hartanto. Bantuan Hukum Dan Hak
asasi Manusia. Mandar Maju. Bandung. 2001.
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), “Bantuan
Hukum,” diperoleh dari www.pemantauperadilan.com 20 Desember 2004
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar