Senin, 14 Januari 2013

PERANAN JAKSA DALAM MELAKSANAKAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan pembangunan di segala bidang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pembangunan adalah proses perubahan keadaan masyarakat menjadi keadaan masyarakat yang lebih baik dan yang dicita-citakan.[1] Dalam melaksanakan pembangunan jelas memerlukan dana yang tidak sedikit, disamping itu juga akan ditemui hambatan-hambatan diantaranya adalah kejahatan.
Kejahatan terbesar yang dihadapi Indonesia saat ini diantaranya adalah korupsi. Korupsi di Indonesia sudah merajalela sejak tahun 1950-an. Perkembangan korupsi sampai saat ini merupakan akibat dari tidak tertata secara tertib dan tidak terawasinya secara baik system penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong menyebutkan bahwa :[2]
Indonesia memiliki kondisi korupsi terburuk pada 2004, Indonesia mendapatkan nilai korupsi 9,25. Dalam penentuan peringkat korupsi itu PERC menggunakan angka skala nol hingga 10. Angka nol menunjukkan kondisi terbaik yang mungkin dicapai suatu negara dan pada negara tersebut tidak terdapat peristiwa korupsi. Sedangkan angka 10 menunjukkan kondisi korupsi paling buruk yang mungkin terjadi pada suatu negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sangat parah bahkan sudah menjangkiti hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kekuasaan peradilan.
Undang-undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi banyak mengalami perubahan. Menurut Lilik Mulyadi hal yang menyebabkan undang-undang yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi banyak mengalami perubahan adalah :[3]
Hal ini dapat dimengerti oleh karena di suatu pihak perkembangan masyarakat demikian cepat dan modus operandi tindak pidana korupsi makin canggih dan variatif sedangkan di lain pihak perkembangan hukum (“law in book”) relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat.

Selanjutnya ditinjau dari jenis tindak pidana, maka tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus. Menurut Lilik Mulyadi tindak pidana khusus jika diperbandingkan dengan tindak pidana umum memiliki perbedaan yaitu:[4]
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tindak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Di tinjau dari hukum acaranya dalam tindak pidana khusus penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan menyimpang dari penyidikan tindak pidana pada umumnya. Ketentuan yang demikian ini didasarkan atas ketentuan Pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP yang berbunyi :
Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu sampai  perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku.

Ketentuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP, dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 284 ayat (2) huruf b yang berbunyi  : 
Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut antara lain :
1.            Undang-undang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
2.            Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Atas ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, maka Kejaksaan yang selama ini merupakan lembaga yang berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, tidak lagi sebagai penyidik tunggal dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana instansi Kepolisian juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Dasar hukum bagi Kepolisian adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) huruf g yang berbunyi :
Dalam melaksanakan tugas pokoknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
(g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangan lainnya.

Dalam perkembangan terakhir mengenai penyidikan tindak pidana korupsi, terjadi paradigma baru dimana dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, komisi ini berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, dan dapat mengambil alih penyidikan serta penuntutan tindak pidana korupsi yang sedang  dilakukan oleh Kepolisian dan atau Kejaksaan.



B. Perumusan Masalah
               Pembahasan Makalah ini akan menguraikan beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Bagaimana peranan Jaksa dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penanganan Tindak Pidana Korupsi
Dalam ketentuan Pasal 26 UU Nomor 31 tahun 1999 ditentukan bahwa : “Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Dari pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum acara pidana yang digunakan untuk penanganan tindak pidana korupsi adalah Hukum Acara Pidana yang berlaku pada saat itu ( Ius Contitutum / Hukum Positif ) yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) kecuali jika undang-undang Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ) menentukan lain.
KUHAP selaku hukum positif merupakan hukum acara yang dipergunakan secara teoritis dan praktek pada semua tingkat peradilan dalam menangani tindak pidana korupsi. Untuk itu dapat dikatakan bahwa adanya ketentuan hukum acara yang bersifat ganda bagi penyidikan, penuntutan dan peradilan pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. Di satu sisi sebagian menggunakan Hukum Pidana Khusus ( Ius singurale / Ius Speciale ) maka tindak pidana khusus mempunyai hukum acara khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pada umumnya. Untuk aspek ini, maka aspek hukum acara pidana yang diterapkan bersifat “lex specialist”. Konkretnya adanya penyimpangan-penyimpangan itu dimaksudkan untuk mempercepat prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di pengadilan untuk mendapatkan bukti-bukti suatu pidana korupsi dan penyimpangan tersebut dilakukan bukan berarti bahwa hak asasi tersangka / terdakwa dalam tindak pidana korupsi tidak dijamin atau dilindungi, tetapi diusahakan sedemikian rupa sehinggga penyimpangan-penyimpangan itu bukan merupakan penghapusan seluruhnya hak asasi tersangka / terdakwa melainkan hanya sekedar pengurangan yang hanya terpaksa untuk menyelamatkan hak asasi tersebut dari bahaya yang ditimbulkan korupsi.
Sedangkan dipihak lain sebagai ketentuan umum atau “lex generalis” dalam artian bagaimana melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara korupsi sepanjang tidak diatur adanya penyimpangan dalam undang-undang Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ) maka prosesnya identik dengan proses penanganan perkara pidana pada umumnya yang mengacu pada KUHAP.
Melihat sifat sebagaimana tersebut diatas ( lex specialist dan lex generalis ) maka hukum acara tindak pidana korupsi bersifat ganda. Karena disamping mengacu pada ketentuan pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ) sebagai lex specialist juga berorientasi pada KUHAP ( UU No. 8 Tahun 1981 ) sebagai lex generalis.

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004.
Jaksa dalam Undang-undang No. 16 tahun 2004 diatur dalam Pasal 1 angka (1) yang berbunyi :
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Tugas dan wewenang kejaksaan tidak hanya pidana khusus dalam hal ini adalah Tindak Pidana Korupsi, tetapi juga menangani pidana umum yang lain, hal ini terdapat pada UU No. 16 Tahun 2004 pada pasal 30  yaitu :
  1. Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. melakukan penuntutan.
Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

b.melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.

d.melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.


e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Untuk melengkapi berkas perkara pemerikasaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)           tidak dilakukan terhadap tersangka.
2)           Hanya terdapat perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan / atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.
3)           Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 ( empat belas ) hari setelah dilaksanakan ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
4)           Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

  1. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

  1. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang cetakan;
d.pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan / atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistic kriminal.

Selanjutnya dalam pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Di samping tugas dan wewenang tersebut, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 32 UU No. 16 tahun 2004.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan BAB II penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Peranan Jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah :
-          Melakukan pemanggilan saksi, saksi ahli atau tersangka.
-          Melakukan penggeledahan / penyitaan.
-          Melakukan pemeriksaan surat, rekapan komunikasi telepon dan rekapan rekening keuangan Negara.
-          Melakukan penangkapan dan penahanan.
-          Melakukan pemberkasan perkara.

B. Saran-Saran
Dari kesimpulan diatas, penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut :
1.      Kejaksaan ( Jaksa ) dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi berpedoman pada peraturan-peraturan dan prosedur administrasi penanganan tindak pidana yang sangat banyak, sehingga dalam pelaksanaannya akan memerlukan waktu yang lama dalam mengungkap kasus yang ditanganinya. Oleh karena itu sebaiknya  diciptakan suatu system penanganan tindak pidana korupsi dan pola administrasi penanganan tindak pidana korupsi yang sesederhana dan sesingkat mungkin sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
2.       Dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi, Kejaksaan ( Jaksa ) tentu akan mengalami kendala-kendala yang menghambat jalannya proses penyidikan. Sebagai upaya dalam mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan suatu pendidikan dan pelatihan khusus sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga akan mendukung keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi.


[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal.90.
[2] Teropong, Hakim Pengadilan Khusus“Korupsi”, MaPPI FH-UI, Depok, 2004, hal.2.
[3] Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi : Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.2.
[4] Ibid., hal.2.

1 komentar:

JOKE mengatakan...

Mat pagi mas Danang Sucahyo, maaf saya sudah mengcopy tulisannya soalnya cocok sekali dengan karya ilmiah yg sedang saya tulis. Makasih ya?