BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan
pembangunan di segala bidang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pembangunan
adalah proses perubahan keadaan masyarakat menjadi keadaan masyarakat yang lebih
baik dan yang dicita-citakan.[1]
Dalam melaksanakan pembangunan jelas memerlukan dana yang tidak sedikit,
disamping itu juga akan ditemui hambatan-hambatan diantaranya adalah kejahatan.
Kejahatan terbesar
yang dihadapi Indonesia saat ini diantaranya adalah korupsi. Korupsi di
Indonesia sudah merajalela sejak tahun 1950-an. Perkembangan korupsi sampai
saat ini merupakan akibat dari tidak tertata secara tertib dan tidak
terawasinya secara baik system penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Political and Economic Risk
Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong menyebutkan bahwa :[2]
Indonesia memiliki
kondisi korupsi terburuk pada 2004, Indonesia mendapatkan nilai korupsi 9,25.
Dalam penentuan peringkat korupsi itu PERC menggunakan angka skala nol hingga
10. Angka nol menunjukkan kondisi terbaik yang mungkin dicapai suatu negara dan
pada negara tersebut tidak terdapat peristiwa korupsi. Sedangkan angka 10
menunjukkan kondisi korupsi paling buruk yang mungkin terjadi pada suatu
negara. Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia sangat
parah bahkan sudah menjangkiti hampir seluruh sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara termasuk kekuasaan peradilan.
Undang-undang yang
mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi banyak mengalami
perubahan. Menurut Lilik Mulyadi hal yang menyebabkan undang-undang yang
mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi banyak mengalami perubahan
adalah :[3]
Hal ini dapat
dimengerti oleh karena di suatu pihak perkembangan masyarakat demikian cepat
dan modus operandi tindak pidana korupsi makin canggih dan variatif sedangkan
di lain pihak perkembangan hukum (“law in book”) relatif tertinggal
dengan perkembangan masyarakat.
Selanjutnya ditinjau
dari jenis tindak pidana, maka tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana
khusus. Menurut Lilik Mulyadi tindak pidana khusus jika diperbandingkan dengan
tindak pidana umum memiliki perbedaan yaitu:[4]
Tindak pidana korupsi
merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus disamping mempunyai
spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya
penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur maka
tindak pidana korupsi secara langsung maupun tindak langsung dimaksudkan
menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap
keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini dan seminimal
mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan
dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa
dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada
umumnya.
Di tinjau dari hukum
acaranya dalam tindak pidana khusus penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan
menyimpang dari penyidikan tindak pidana pada umumnya. Ketentuan yang demikian
ini didasarkan atas ketentuan Pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP yang berbunyi :
Dalam waktu dua tahun
setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan
undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu
sampai perubahan dan atau dinyatakan
tidak berlaku.
Ketentuan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat ( 2 ) KUHAP, dijelaskan lebih lanjut
dalam penjelasan Pasal 284 ayat (2) huruf b yang berbunyi :
Yang dimaksud dengan “ketentuan
khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut antara lain :
1.
Undang-undang
pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
2.
Undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Atas ketentuan Pasal
284 ayat (2) KUHAP, maka Kejaksaan yang selama ini merupakan lembaga yang berwenang
untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, tidak lagi sebagai
penyidik tunggal dalam penyidikan tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana instansi Kepolisian
juga mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
Dasar hukum bagi Kepolisian adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 14 ayat (1) huruf g yang
berbunyi :
Dalam melaksanakan
tugas pokoknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas :
(g) melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundangan lainnya.
Dalam perkembangan
terakhir mengenai penyidikan tindak pidana korupsi, terjadi paradigma baru
dimana dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diatur
dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, komisi ini berwenang untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, dan
dapat mengambil alih penyidikan serta penuntutan tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh Kepolisian dan
atau Kejaksaan.
B. Perumusan Masalah
Pembahasan
Makalah ini akan menguraikan beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan
sebagai berikut :
- Bagaimana peranan Jaksa
dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penanganan Tindak Pidana
Korupsi
Dalam
ketentuan Pasal 26 UU Nomor 31 tahun 1999 ditentukan bahwa : “Penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Tindak Pidana korupsi,
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini”. Dari pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
hukum acara pidana yang digunakan untuk penanganan tindak pidana korupsi adalah
Hukum Acara Pidana yang berlaku pada saat itu ( Ius Contitutum / Hukum
Positif ) yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) kecuali jika undang-undang Tindak
Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 ) menentukan
lain.
KUHAP
selaku hukum positif merupakan hukum acara yang dipergunakan secara teoritis
dan praktek pada semua tingkat peradilan dalam menangani tindak pidana korupsi.
Untuk itu dapat dikatakan bahwa adanya ketentuan hukum acara yang bersifat
ganda bagi penyidikan, penuntutan dan peradilan pelaku tindak pidana korupsi di
Indonesia. Di satu sisi sebagian menggunakan Hukum Pidana Khusus ( Ius
singurale / Ius Speciale ) maka tindak pidana khusus mempunyai hukum acara
khusus yang menyimpang dari ketentuan hukum acara pada umumnya. Untuk aspek
ini, maka aspek hukum acara pidana yang diterapkan bersifat “lex specialist”.
Konkretnya adanya penyimpangan-penyimpangan itu dimaksudkan untuk mempercepat
prosedur dan mempermudah penyidikan, penuntutan, serta pemeriksaan di
pengadilan untuk mendapatkan bukti-bukti suatu pidana korupsi dan penyimpangan
tersebut dilakukan bukan berarti bahwa hak asasi tersangka / terdakwa dalam
tindak pidana korupsi tidak dijamin atau dilindungi, tetapi diusahakan
sedemikian rupa sehinggga penyimpangan-penyimpangan itu bukan merupakan
penghapusan seluruhnya hak asasi tersangka / terdakwa melainkan hanya sekedar
pengurangan yang hanya terpaksa untuk menyelamatkan hak asasi tersebut dari
bahaya yang ditimbulkan korupsi.
Sedangkan
dipihak lain sebagai ketentuan umum atau “lex generalis” dalam artian
bagaimana melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
dalam perkara korupsi sepanjang tidak diatur adanya penyimpangan dalam
undang-undang Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun
2001 ) maka prosesnya identik dengan proses penanganan perkara pidana pada
umumnya yang mengacu pada KUHAP.
Melihat
sifat sebagaimana tersebut diatas ( lex specialist dan lex generalis )
maka hukum acara tindak pidana korupsi bersifat ganda. Karena disamping mengacu
pada ketentuan pada Undang-undang Tindak Pidana Korupsi ( UU No. 31 tahun 1999
jo. UU No. 20 Tahun 2001 ) sebagai lex specialist juga berorientasi pada
KUHAP ( UU No. 8 Tahun 1981 ) sebagai lex generalis.
B.
Tugas dan Wewenang Kejaksaan Berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004.
Jaksa
dalam Undang-undang No. 16 tahun 2004 diatur dalam Pasal 1 angka (1) yang
berbunyi :
Jaksa adalah pejabat fungsional
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum
dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Tugas
dan wewenang kejaksaan tidak hanya pidana khusus dalam hal ini adalah Tindak
Pidana Korupsi, tetapi juga menangani pidana umum yang lain, hal ini terdapat
pada UU No. 16 Tahun 2004 pada pasal 30
yaitu :
- Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan penuntutan.
Dalam melakukan penuntutan, jaksa
dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk
memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya
penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara
hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna
dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut
dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.
b.melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam melaksanakan putusan
pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa
mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
c. melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat.
d.melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang.
e. melengkapi berkas perkara
tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan
ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Untuk melengkapi berkas perkara
pemerikasaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)
tidak
dilakukan terhadap tersangka.
2)
Hanya
terdapat perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan / atau dapat meresahkan
masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.
3)
Harus
dapat diselesaikan dalam waktu 14 ( empat belas ) hari setelah dilaksanakan
ketentuan Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
4)
Prinsip
koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
- Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
- Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan :
a. peningkatan kesadaran hukum
masyarakat;
b.pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. pengawasan peredaran barang
cetakan;
d.pengawasan aliran kepercayaan yang dapat
membahayakan masyarakat dan negara;
e. pencegahan penyalahgunaan dan /
atau penodaan agama;
f. penelitian dan pengembangan hukum
serta statistic kriminal.
Selanjutnya
dalam pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 disebutkan bahwa Kejaksaan dapat meminta
kepada hakim untuk menempatkan seseorang terdakwa di rumah sakit, tempat
perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak
mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan
orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri. Di samping tugas dan wewenang
tersebut, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan
undang-undang sebagaimana diatur dalam pasal 32 UU No. 16 tahun 2004.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan BAB II penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Peranan
Jaksa dalam penyidikan tindak pidana korupsi adalah :
-
Melakukan pemanggilan saksi, saksi ahli atau tersangka.
-
Melakukan
penggeledahan / penyitaan.
-
Melakukan
pemeriksaan surat, rekapan komunikasi telepon dan rekapan rekening keuangan
Negara.
-
Melakukan
penangkapan dan penahanan.
-
Melakukan
pemberkasan perkara.
B. Saran-Saran
Dari
kesimpulan diatas, penulis dapat memberikan saran-saran sebagai berikut :
1.
Kejaksaan
( Jaksa ) dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi berpedoman pada
peraturan-peraturan dan prosedur administrasi penanganan tindak pidana yang
sangat banyak, sehingga dalam pelaksanaannya akan memerlukan waktu yang lama
dalam mengungkap kasus yang ditanganinya. Oleh karena itu sebaiknya diciptakan suatu system penanganan tindak pidana
korupsi dan pola administrasi penanganan tindak pidana korupsi yang sesederhana
dan sesingkat mungkin sesuai asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
2.
Dalam
melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi, Kejaksaan ( Jaksa ) tentu akan
mengalami kendala-kendala yang menghambat jalannya proses penyidikan. Sebagai
upaya dalam mengatasi kendala-kendala tersebut diperlukan suatu pendidikan dan
pelatihan khusus sebagai peningkatan kualitas sumber daya manusia, sehingga
akan mendukung keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi.
[1] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal.90.
[2] Teropong, Hakim Pengadilan Khusus“Korupsi”, MaPPI FH-UI,
Depok, 2004, hal.2.
[3] Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi : Tinjauan Khusus Terhadap
Proses Penyidikan, Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal.2.
[4] Ibid., hal.2.
1 komentar:
Mat pagi mas Danang Sucahyo, maaf saya sudah mengcopy tulisannya soalnya cocok sekali dengan karya ilmiah yg sedang saya tulis. Makasih ya?
Posting Komentar