Senin, 14 Januari 2013

Pengadilan HAM



1.     PENDAHULUAN

            Penegakan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal  6 November 2000 disahkannya Undangundang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undangundang yang secara tegas menyatakan sebagai undang-undang yang  mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku  pelanggaran HAM berat. Undangundang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Pengadilan HAM ini merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.  pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik  menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM ini mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Pengaturan yang berbeda atau khusus ini mulai sejak tahap penyelidikan dimana yang berwenang adalah Komnas HAM sampai pengaturan tentang majelis hakim dimana komposisinya berbeda denga pengadilan pidana biasa. Dalam pengadilan HAM ini komposisi hakim adalah lima orang yang mewajibkan tiga orang diantaranya adalah hakim ad hoc. Pengaturan yang sifatnya khusus ini didasarkan atas kerakteristik kejahatan yang sifatnya extraordinary sehingga memerlukan pengaturan dan mekanisme yang seharusnya juga sifatnya khusus. Harapan atas adanya pengaturan yang sifatnya khusus ini adalah dapat berjalannya proses peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat secara kompeten dan fair. Efek yang lebih jauh adalah putusnya rantai impunity atas pelaku pelanggaran HAM yang berat dan bagi korban, adanya pengadilan HAM akan mengupayakan adanya keadilan bagi mereka. UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM telah dijalankan dengan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur. Dalam prakteknya, pengadilan HAM ad hoc ini mengalami banyak kendala terutama berkaitan dengan
lemahnya atau kurang memadainya instumen hukum. UU No. 26 Tahun 2000 ternyata belum memberikan aturan yang jelas dan lengkap tentang tindak pidana yang diatur dan tidak adanya mekanisme hukum acara secara khusus. Dari kondisi ini, pemahaman atau penerapan tentang UU No. 26 Tahun 2000 lebih banyak didasarkan  atas penafsiran hakim ketika melakukan pemeriksaan di pengadilan.


2.     PERMASALAHAN

a.       Pengadilan HAM : Setelah disyahkannya UU No. 26/ 2000
           
            Berdasarkan ketentuan UU No. 26 tahun 2000, Pengadilan HAM mengatur tentang yurisidksi atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat baik setelah disyahkanya UU ini maupun kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sebelum disyahkannya UU ini. Prosedur pembentukan pengadilan ini mempunyai perbedaaan yang cukup mendasar. Dalam penanganan kasuskasus pelanggaran HAM yang berat setelah disyahkannya UU ini tanpa melalui rekomendasi dan keputusan presiden sebagaimana dalam pembentukan pengadilan HAM ad hoc (mengenai pengadilan HAM ad hoc akan diuraikan dibagian bawah).
            Prosedur pembentukan pengadilan HAM adalah berdasarkan adanya dugaan telah terjadi kasus pelanggaran HAM yang berat. Dugaan adanya kasus pelanggaran yang berat ini kemudian diselidiki oleh Komnas HAM dengan membentuk komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM). Hasil penyelidikan, jika ditemukan bukti bahwa terdapat dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan, dalam tahap ini kalau dari hasil penyidikan menunjukkan adanya pelanggaran HAM yang berat maka diteruskan untuk tahap penuntutan yang juga di lakukan oleh Kejaksaan Agung. Berdasarkan bukti-bukti dan penuntutan yang diwujudkan dalam surat dakwaan, kemudian digelar pengadilan HAM berdasarkan kompetensi relatif pengadilan. Tempat pengadilan ini berada di pengadilan negeri dimana locus dan tempos delictie terjadinya pelanggaran HAM yang berat.
            Pengalaman pembentukan pengadilan HAM setelah disyahkannya UU ini adalah Pengadilan HAM Abepura yang disidang di Pengadilan Negeri Makassar. Kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Abepura Papua terjadi pada tanggal 7 Desember 2000, yang kemudian oleh Komnas HAM di tindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan pro yustisia pada tanggal 5 Februari 2001. Setelah penyelidikan KPP HAM ini selesai kemudian hasil penyelidikan ini diserahkan ke Jaksa Agung. Kejaksaan Agung berdasarkan atas Laporan KPP HAM, kemudian melakukan serangkaian penyidikan dengan membentuk Tim Penyidik Pelanggaran HAM di Abepura. Setelah adanya kelengkapan penuntutan maka Pengadilan ini akhirnya sidang pertama dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2004 di Pengadilan Negeri Makassar. Pemilihan pengadilan HAM di Makassar ini berdasarkan pada ketentuan pasal 45 UU No. 26/2000 dimana untuk pertama kalinya pengadilan HAM dibentuk di Jakarta, Medan, Surabaya dan Makassar. Wilayah yurisdiksi pengadilan HAM Makassar meliputi Papua/Irian Jaya. Kasus lain yang dilakukan penyelidikan berdasarkan adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Wasior yang berawal pada tanggal 13 Juni 2001 dan Wamena Papua yang berawal dari peristiwa pada tanggal 4 April 2003. Komnas HAM membentuk KPP HAM Papua yang bekerja pada tanggal 17 Desember 2003 sampai dengan 31 Juli 2004. Laporan KPP HAM Papua ini, setalah menyimpulkan bahwa terdapat dugaan pelanggaran HAM yang berat di dua wilyah tersebut kemudian menyerahkan hasil laporan tersebut ke Kejaksaan Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Proses pembentukan pengadilan HAM ini adalah proses peradilan yang tidak melibatkan adanya intervensi pihak lain,  misalnya DPR, sebagaimana pengadilan HAM ad hoc. Namun dari pengalaman proses pengadilan HAM Abepura juga terdapat beberapa permasalahan misalnya mengenai pelaksanaan pengadilan HAM di Makassar untuk kasus yang terjadi di Papua. Konsekuaensinya adalah keterbatasan dalam menghadirkan para saksi korban dari Papua ke Makassar.


b.       Pengadilan HAM ad hoc : Sebelum adanya UU No. 26/2000

            Pengadilan HAM ad hoc adalah pengadilan yang dibentuk khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan sebelum adanya UU No. 26 Tahun 2000, berbeda dengan Pengadilan HAM (permanen) yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000.
Ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM ad Hoc menurut pasal 43 UU No. 26/2000 adalah:
1. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
2. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.
3. Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan Peradilan Umum.

Penjelasan pasal 43 ayat (2) menyatakan:
Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yangberat yang dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini.”
Pasal 44 UU No. 26/2000 menentukan tentang prosedur hukumnya :
“Pemeriksaan di Pengadilan HAM ad hoc dan upaya hukumnya dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini”
Penjelasan pasal 43 UU No. 26/2000 menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang juga sebagai pihak yang mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc mendasarkan usulannya pada dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus delicti dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini. Masalah rumusan sebagaimana dalam pasal 43 diatas menimbulkan masalah yang cukup serius terutama berkaitan dengan kewenangan DPR untuk menentukan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat berdasarkan pada penjelasan pasal 43 ayat (2). Rumusan ini bisa ditafsirkan bahwa DPR yang dapat menentukan dugaan ada tidaknya pelanggaran HAM yang berat. Dari ketentuan dalam pasal 43 berkenaan dengan pengadilan HAM ad hoc ini terdapat beberapa hal yang menjadikan proses pengadilan HAM ad hoc sulit diaplikasikan dalam pembentukannya. Beberapa persoalan tersebut adalah a) penerapan tentang asas retroaktif, b) proses pembentukan pengadilan HAM ad hoc dan c) kewenangan DPR dalam menentukan pembentukan pengadilan HAM ad hoc.

c.       Asas Retroaktif

            Adanya Pengadilan HAM ad hoc ini memunculkan persoalan isu tentang asas retroaktif dalam penjelasan umum UU No. 26/2000 yang dianggap sebagai pelanggaran atas asas legalitas dalam hukum pidana. Dari penjelasan umum dapat disimpulkan bahwa kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan atau delik baru dalam hukum
            Indonesia sehingga setiap penerapan atas delik ini untuk untuk kasus-kasus masa lalu dianggap sebagai berlakunya asas retroaktif.22 Dalam penjelasan umum diatas juga dinyatakan bahwa landasan konstitusional yang digunakan adalah pasal 28 huruf j ayat (2). Dengan ungkapan lain bahwa asas retroaktif dapat diberlakukan dalam rangka melindungi hak asasi manusia itu sendiri. Kontroversi atas penerapan asas retroaktif ini menunjukkan bahwa terdapat dua perspektif  yang bertentangan mengenai penerapan asas retroaktif dalam pelanggaran HAM yang berat. Pandangan pertama mengindikasikan bahwa penerapan asas retroaktif ini bertentangan dengan asas kardinal dalam hukum pidana yaitu asas legalitas dan bertentang dengan zormanorma yang lain. Sedangkan pandangan kedua, dan ini yang diikuti oleh penyusun undang-undang, bahwa asas legalitas dapat disimpangi berdasarkan hukum internasional. Pada awalnya praktek peradilan internasional terhadap para pelaku kejahatan internasional (pelanggaran HAM yang berat) ditempuh oleh masyarakat internasional dengan membentuk ad hoc extrajudicial tribunal. Telah menjadi kesepakatan universal bahwa sejak berakhirnya perang dunia ke II kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan harus diperangi dan diadili. Para pelakunya sedapat mungkin diadili, dan jika terbukti bersalah harus dihukum, untuk menunjukkan bahwa jenis kejahatan ini sama sekali tidak bisa ditolerir dan harus dicegah dari kemungkinan berulang dimasa yang akan datang. Pikiran inilah yang mendasari dan menjadi alasan dari pembentukan ad hoc extra judicial tribunal. Peradilan ini bersifat extra legal atau extra judicial, karena dibentuk dengan sangat terpaksa untuk mensiasati kekosongan norma-norma internasional dan adanya pertentangan antara norma internasional dan norma nasional. Peradilan yang dibentuk adalah peradilan untuk kasus Nurenberg dan Tokyo.


3.     PEMBAHASAN

            Ketentuan pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tidak mengatur secara jelas mengenai alur atau mekanisme bagaimana sebetulnya proses perjalanan pembentukan pengadilan HAM ad hoc setelah adanya penyelidikan dari Komnas HAM tentang adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat. Pengalaman pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor-timor menunjukkan bahwa mekanismenya adalah Komnas HAM melakukan penyelidikan lalu hasilnya diserahkan ke Kejaksaan Agung, yang kemudian Kejaksaan Agung melakukan penyidikan. Hasil penyidikan diserahkan ke presiden. Presiden mengirimkan surat ke DPR lalu DPR mengeluarkan rekomendasi. Presiden selanjutnya mengeluarkan keputusan presiden tentang pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Ketentuan tentang adanya beberapa tahap untuk pembentukan pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat yang berbeda dengan pengadilan HAM biasa. Hal-hal yang merupakan syarat adanya pengadilan HAM ad hoc yaitu :
1. adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan kasus masa lalu oleh Komnas HAM.
2. adanya hasil penyidikan dari Kejaksaan Agung.
3. adanya rekomendasi DPR kepada pemerintah untuk mengusulkan pengadilan HAM ad hoc dengan tempos dan locus delicti tertentu.
4.adanya keputusan presiden (keppres) untuk berdirinya pengadilan HAM ad hoc







Dengan alur proses menuju pengadilan HAM ad hoc yang pernah terjadi untuk kasus Timor-timur dan Tanjung Priok ini dalam prakteknya ternyata tidak bisa menjadi yurisprudensi untuk kasus yang lainnya. Beberapa kasus yang sampai saat ini belum bisa dibawa ke pengadilan ham ad hoc masih terganjal karena tidak jelasnya mekanisme tentang bagaimana sebuah kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM yang berat sebelum UU No. 26/2000 ini. Pengalaman kasus Trisaksi dan Semanggi menunjukkan bahwa pola hubungan kerja antara DPR dengan Komnas HAM tidak jelas dimana pada saat yang bersamaan kedua institusi ini melakukan tindakan penyelidikan untuk kasus tersebut. Komnas HAM membentuk Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) untuk kasus Trisaksi dan Semanggi pada tanggal 5 Juni 2001 sementara DPR membentuk Panitia Khusus yang menentukan bahwa kasus Trisaksi dan Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat dan pada tanggal 28 Juni 2001 (melalui Bamus) merekomendasikan agar penanganan ketiga kasus tersebut dilakukan melalui pengadilan umum dan pengadilan militer.31 Dari kasus ini menunjukkan bahwa ada ketidakjelasan yang mempunyai implikasi atas kekacauan dalam penerapan UU No. 26/2000 terutama dalam membentuk pengadilan HAM ad hoc.


4.     KESIMPULAN

            Sejak tahun 2000, dengan diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Indonesia mempunyai mekanisme untuk melakukan penuntutan data kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan genosida. Hadirnya mekanisme ini membuka peluang dihadapkannya pelaku pelanggaran HAM berat yang sebelumnya menikmati impunitas ke depan pengadilan. Pengadilan ini juga memberikan mekanisme untuk pemenuhan hak-hak korban yakni pengaturan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, Putusan-putusan pengadilan HAM sampai saat ini secara umum belum memberikan hasil sebagaimana harapan banyak pihak sebagaimana saat awal pengadilan ini diupayakan. Berbagai factor memang mempengaruhi perjalanan pengadilan HAM di Indonesia, selain regulasi juga factor-faktor lainnya, oleh karenanya untuk perkembangan kedepan penting untuk melakukan perbaikan dalam tataran regulasi sebagai landangan pengadilan HAM yang kuat.
5.     DAFTAR PUSTAKA

1.      Undang-Undang Dasar 1945
2.      Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3.      UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM
4.      Undang-Undang Dasar 1945
5.      Abidin, Zainal (2005) “Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, Seri Bahan Bacaan Khusus untuk Pengacara X: 2005. Jakarta: Elsam.

Tidak ada komentar: