BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Induk peraturan hukum pidana Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 33 pada 15 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886.[[1]] Walaupun WvSNI notabene turunan (copy) dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia.
Jika diruntut lebih ke belakang, pertama kali negara Belanda membuat perundang-undangan hukum pidana sejak tahun 1795 dan disahkan pada tahun 1809 pada saat pemerintahan Lodewijk Napoleon. Kodifikasi hukum pidana nasional pertama ini disebut dengan Crimineel Wetboek voor Het Koninkrijk Holland. Namun baru dua tahun berlaku, pada tahun 1811 Perancis datang menjajah Belanda dan memberlakukan Code Penal (kodifikasi hukum pidana) yang dibuat tahun 1810 saat Napoleon Bonaparte menjadi penguasa Perancis. Pada tahun 1813, Perancis meninggalkan negara Belanda. Namun demikian negara Belanda masih mempertahankan Code Penal itu sampai tahun 1886.[[2]] Setelah perginya Perancis pada tahun 1813, Belanda melakukan usaha pembaharuan hukum pidananya (Code Penal) selama kurang lebih 68 tahun (sampai tahun 1881). Selama usaha pembaharuan hukum pidana itu, Code Penal mengalami beberapa perubahan, terutama pada ancaman pidananya. Pidana penyiksaan dan pidana cap bakar yang ada dalam Code Penal ditiadakan dan diganti dengan pidana yang lebih lunak. Pada tahun 1881, Belanda mengesahkan hukum pidananya yang baru dengan nama Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon dan mulai diberlakukan lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1886. Sebelum negara Belanda mengesahkan Wetboek van Strafrecht sebagai pengganti Code Penal Napoleon pada tahun 1886, di wilayah Hindia Belanda sendiri ternyata pernah diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa) dengan Staatblad Tahun 1866 Nomor 55 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 1867. Bagi masyarakat bukan Eropa diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Inlander (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi) dengan Staatblad Tahun 1872 Nomor 85 dan dinyatakan berlaku sejak 1 Januari 73.[[3]]
Menurut Penulis dapat dilihat bahwa dari sejarah perkembangan hukum pidana yang terdapat di Indonesia, sedikit banyak mendapat pengaruh atau berasal dari Perancis yang menjajah Belanda pada saat itu, dan Belanda menjajah Indonesia yang kemudian Hukum Pidana-nya diadopsi secara langsung maupun tidak langsung oleh negara jajahannya (Indonesia). Penulis mencoba membandingkan sistem hukum kedua negara antara Indonesia dan Perancis, yaitu dengan alasan dan harapan bahwa dengan melakukan perbandingan ini, kita akan dapat menemukan unsur-unsur persamaan (similaritas) dan juga unsur-unsur yang berbeda (divergensi) dari kedua lembaga ataupun sistem hukum kedua negara tersebut diatas berdasarkan hasil dari perkembanganya.Dengan perbandingan hukum kedua negara ini disadari bahwa mungkin dapat memecahkan persoalan yang dihadapi daripada kekurangan-kekurangan yang terdapat pada kedua sistem hukum tersebut, dan begitupula sebaliknya.
Selanjutnya penulis mencoba untuk membandingkan kedua sistem hukum pidana negara tersebut diatas dalam aspek Pidana Materiil (Substantive) dan Pidana Formil (Procedural). Pada aspek Pidana Materiil (Substantive) penulis akan membahas tentang Asas Legalitas (Principle of Legality), dan pada aspek Pidana Formil (Procedural) penulis akan membahas tentang Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana (the role of the victim in the criminal justice system) diantara kedua negara tersebut.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan daripada makalah ini yaitu; Bagaimanakah Perbandingan Sistem Hukum Pidana Indonesia dan Perancis di tinjau dari Aspek Pidana Materiil yaitu Asas Legalitas dan Pidana Formil yaitu Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perbandingan Asas Legalitas (Principle of Legality/Legality Principle) dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia dan Sistem Hukum Pidana di Perancis
Dalam hal mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu pada perbuatan pidananya sendiri atau criminal act, ada dasar yang paling pokok yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, yang disebut dengan Asas Legalitas (Principle of Legality). Asas ini sering dikenal dalam bahasa Latin yaitu Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu),[[4]] atau Nullum crimen sine lege stricta (tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas).[[5]]
Asas tersebut diatas dikenalkan oleh seorang sarjana hukum pidana Jerman yaitu Paul Johann Anselm von Feuerbach/von Feurbach (1775-1833). Latar belakang lahirnya adagium tersebut berasal dari teori Von Feurbach, yaitu “vom psychologische dwang” (teori tekanan psikologis). Teori ini menjelaskan bahwa penjatuhan pidana hanya dapat dibenarkan jika sebelumnya telah diberikan peringatan kepada setiap orang tentang larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan. Justru jika larangan tersebut dilanggar, dan pidana tidak dijatuhkan maka ancaman (pidana) itu kehilangan kekuatannya.[[6]]
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, Asas Legalitas diatur di dalam pasal 1 ayat 1 (Bab I, Buku Kesatu) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP),[[7]] yang berbunyi sebagai berikut: “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.
Moeljatnomengemukakan bahwa Asas Legalitas yang dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:[[8]]
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Sedangkan Andi hamzah merumuskan asas tersebut diatas dalam dua hal, yaitu:[[9]]
1. Jika suatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam dengan pidana, maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.
2. Ketentuan tersebut tidak boleh berlaku surut, dengan satu kekecualian yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 2 KUHP.
Ketentuan Asas Legalitas seperti tersebut diatas juga telah dimasukkan ke dalam Code Penal (KUHP) Perancis yang menetapkan: “La loi penale est d’interpretation stricte” (hukum pidana harus ditafsirkan secara ketat/strict). Rumusan delik harus ketat (strict) tercantum juga dalam International Criminal Court (Statuta Roma).[[10]] KUHP Perancis tahun 1810 menganut sistem egalitarian yang menitikberatkan pada pertanggungjawaban mental pelaku kejahatan, dan sangat dipengaruhi doktrin utilitarian (J. Bentham, Inggris). KUHP Perancis 1810 diubah dengan UU Pidana 28 April 1832, mengurangi hukuman berat, dan dengan UU Pidana tanggal 9 Agustus 1981, hukuman mati dihapuskan. KUHP Perancis 1810 telah diubah dengan KUHP 1994 tanggal 1 Mei 1994, setelah melalui pembahasan sejk tahun 1974. Prinsip dasar dari KUHP baru Perancis tahun 1994 tetap tidak berubah, hanya memasukkan kejahatan berkaitan dengan hak asasi manusia dan memasukkan korporasi sebagai subjek hukum.[[11]]
Berdasarkan perkembangannya, Undang-undang Pidana Perancis atau KUHP (Code Penal) Perancis tahun 1810 (KUHP 1810) dipengaruhi oleh Undang-undang Pidana tahun 1791, yang berakar dari masa Kerajaan. Akan tetapi KUHP 1810 tersebut dipengaruhi juga oleh Kriminologi yang menitik beratkan kepada pelaku kejahatan dan faktor-faktor penyebab timbulnya kejahatan. Hasil pengaruh Kriminologi yang dipelopori oleh Beccaria (Mashab Italia) tersebut, telah menghasilkan pendekatan hukum pidana yang bersifat individualistik dan lebih berpihak kepada kepribadian pelaku kejahatan dibandingkan kepada perlindungan masyarakat dimana individu pelaku kejahatan tersebut berada. Kekejaman dalam jenis hukuman dan pelaksanaan hukuman telah menjiwai reformasi hukum pidana dan pemidanaan pasca revolusi Perancis (1789).[[12]]
Bertolak dari perkembangan tersebut diatas, maka KUHP 1810 menganut Prinsip atau Asas Legalitas (Principle of Legality), dan bunyi rumusan asas legalitas tersebut tercantum di dalam Pasal 4 KUHP 1810 (France; Penal Code 1810), yang berbunyi sebagai berikut: “No minor, mayor or serious offence can be punished with sentences that were not laid down by legislation before they were committed” (kejahatan ringan, berat atau kejahatan serius tidak dapat dihukum dengan hukuman yang tidak pernah diatur dalam undang-undang sebelum mereka melakukan kejahatan).[[13]]
Melihat uraian diatas, jika dibandingkan dengan rumusan Asas Legalitas di dalam KUHP Indonesia (1946) atau KUHP Belanda (1886) terdapat perbedaaan mendasar. Perbedaan tersebut Pertama, KUHP Perancis 1810 hanya terdiri dari satu pasal; sedangkan KUHP Indonesia (1946) dan KUHP Belanda (1886) memuat satu pasal dengan dua ayat. Perbedaan Kedua, KUHP Perancis 1810 tidak hanya mengandalkan satu pasal tanpa ayat, akan tetapi masih membedakan dua jenis kejahatan di lihat dari sifat perbuatannya, yaitu kejahatan ringan (delit), kejahatan berat atau serius (crime). Perbedaan ini tidak ditemui baik dalam KUHP Indonesia (1946) yang menyebut “suatu perbuatan”; dan maupun dalam KUHP Belanda (1886), yang menyebut “act or omission” (berbuat atau tidak berbuat/membiarkan).
B. Peranan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana (the role of the victim in the criminal justice system) pada Sistem Hukum Pidana di Indonesia dan Sistem Hukum Pidana di Perancis
Sesuai dengan Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Wewenang (Resolusi Majelis Umum 40/34, lampiran), “korban” berarti orang yang, baik secara individu atau kolektif, telah menderita kerugian, termasuk penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kelemahan atas hak-hak dasar secara substansial, melalui tindakan atau penanggalan yang merupakan pelanggaran hukum pidana yang berlaku dalam suatu Negara Anggota, termasuk peraturan yang melarang kejahatan penyalahgunaan wewenang. Korban memegang peran pusat dalam proses penegakan hukum. Mereka mungkin adalah pemohon yang memulai proses, atau mereka mungkin menjadi saksi untuk penuntutan. Karena sifat korban sangat rentan, secara umum dapat disepakati bahwa mereka sebaiknya perlu menerima bantuan sebelum, selama dan setelah partisipasinya dalam suatu proses persidangan (suatu proses sistem peradilan pidana).[[14]]
Menurut penulis, sangat penting korban untuk memperoleh perhatian lebih yaitu berangkat dari pemikiran bahwa korban adalah sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan atau tindak pidana, sehingga seyogyanya harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya dalam sistem peradilan pidana.
Disamping itu, seringkali korban memiliki peranan yang sangat penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Yang diharapkan dengan diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban kejahatan akan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunnya kuantitas dan kualitas kejahatan.[[15]] Di Indonesia, kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana sebagai kelanjutan dari sistem tersebut adalah diwakili oleh penuntut umum atau jaksa dalam menghadapi pihak pelaku. Pihak koban hanya berfungsi sebagai saksi. Singkatnya, pihak korban dalam sistem peradilan ini hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pihak penguasa dalam rangka menegakkan hukum, sehingga pada hakekatnya, pihak korban dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan peradilan pidana tidaklah menegakkan hukum secara sempurna.[[16]]
Muladiberpendapat di dalam sistem peradilan pidana, korban kejahatan perlu dilindungi dengan argumentasi bahwa Pertama; proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, dan sebagainya). Di sini terkandung di dalamnya tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antar manusia dalam masyarakat pada lain pihak. Kedua; argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argument kontrak sosial dan argument solidaritas sosial. Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi, oleh karena itu bila terjadi kejahatan dan membawa korban, negara harus bertanggung jawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Ketiga; perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.[[17]]
Dalam rangka konsep pengaturan terhadap perlindungan korban kejahatan, pertama-tama yang harus diperhatikan adalah esensi kerugian yang diderita korban. Esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau penderitaan fisik saja, melainkan juga yang bersifat psikologis. Hal ini dalam bentuk “trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum”. Selanjutnya pada model pelayanan, penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, misalnya yang dapat digunakan oleh polisi, dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan.[[18]]
Dalam hal sistem hukum pidana di Indonesia yang mengatur mengenai Korban, yaitu; Pasal 14c KUHP tentang ketentuan yang berkaitan dengan pidana bersyarat (dari segi hukum materiil), Selanjutnya UU No. 3 tahun 1971 terdapat pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi. Demikian pula diatur di Pasal 9 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 (selanjutnya diatur dalam Pasal 95 KUHAP-Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) menyediakan prosedur ganti rugi bagi mereka yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dalam KUHAP (UU No 8 tahun 1981) Pasal 77 diatur tentang kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus ganti rugi atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Kemudian Pasal 98 KUHAP dan seterusnya diatur tentang kemungkinan penggabungan perkara gugatan dan ganti kerugian kepada perkara pidana yang bersangkutan, dan dalam hukum pelaksanaan pidana, khususnya yang berkaitan dengan persoalan lepas bersyarat (Pasal 15 KUHP), dalam pelaksanaannya diperlukan persyaratan antara lain berupa ijin si korban.
Menurut penulis, fakta yang dapat dilihat bahwa tercatat dalam sejarah sistem hukum, selama berabad-abad korban suatu tindak pidana memiliki peran utama dalam menyelesaikan masalah pidana. Namun, peran korban mengalami penurunan pada era industrialisasi dan urbanisasi. Korban tidak memiliki pengaruh terhadap proses penentuan nasib pelaku kejahatan yang merugikan dirinya. Kerugian yang dideritanya hanya untuk menentukan hukuman bagi terdakwa. Disisi lain seharusnya adalah korban mendapatkan posisi yang semestinya sesuai dengan apa yang dia derita. Langkah konkritnya adalah lahirnya undang-undang baru yang berpihak pada korban, dan juga diubahnya kebijakan peradilan pidana di Indonesia.
Berbeda dengan Indonesia, di Perancis dalam Hukum Acara Pidananya (Code of Criminal Procedure) membolehkan pihak korban atau keluarga korban langsung melakukan tindakan sipil untuk menuntut ganti rugi akibat kerugian yang dideritanya karena kejahatan atau tindak pidana (Pasal 2 dan Pasal 3)[[19]]. Ada dua cara yang dapat dilakukan korban atau wakil korban tersebut. Pertama, jika tersangka-nya diketahui, korban dapat mengajukan gugatan kepada tersangka untuk hadir di pengadilan; dan Kedua, jika tersangka tidak diketahui, mereka melaporkan pengaduan kepada hakim pengawas/penyidik. Proses beracara dalam hal terdapat tindakan sipil oleh korban maka yang bersangkutan dapat memasukkan ketika proses penuntutan telah dilakukan, dapat ia melakukannya secara lisan atau secara tertulis. Syarat-syarat untuk melakukan tindakan sipil, bahwa seseorang harus merupakan korban langsung, termasuk kondisi psikologis akibat dari kejahatan. Keuntungan mengajukan tindakan sipil di dalam proses acara pidana, adalah lebih murah, lebih sederhana, dan lebih cepat; pihak yang dirugikan dapat memperoleh keuntungan dari bukti-bukti yang diajukan dalam penuntutan. Perbedaan antara penyidikan polisi dan penyidikan oleh hakim (penyidikan judicial) adalah bahwa penyidikan oleh polisi memiliki wewenang lebih luas karena dapat menahan seseorang dan merekam pembicaraan telephone; sedangkan penyidikan oleh hakim hanya dapat dilakukan ketika telah dimulai proses penuntutan. Fungsi penyidikan judisial adalah untuk mengklarifikasi bukti-bukti yang diajukan penyidik polisi; dan menentukan apakah suatu kasus dapat diteruskan untuk diadili.[[20]]
Fungsi penyidikan pada hakim di Perancis juga tidak lepas dari kritik karena sering terjadi peyalahgunaan wewenang oleh hakim.[[21]]
Menurut penulis, dari uraian tersebut diatas dalam aspek perbandingan hukum di dalam kedua sistem hukum pidana antara Indonesia dan Perancis terdapat perbedaan yang sangat mendasar, yaitu; di Indonesia terdapat beberapa pengaturan ketentuan mengenai jaminan-jaminan terhadap hak-hak yang dimiliki oleh korban, akan tetapi pengaturan ketentuan tersebut tidak-lah dapat dijadikan landasan yang kuat bagi korban untuk menuntut haknya, serta pengaturan tersebut tidak mengatur secara mendalam mengenai hak korban tersebut. Sedangkan di Perancis dapat dilihat pada pengaturan ketentuan jaminan terhadap hak korban sangat di perhatikan serta dijamin keberadaannya, berikut pengaturan ketentuannya yang diatur lebih mendalam sampai kepada mekanisme. Perbedaan lainnya, di Indonesia, pengaturan ketentuan jaminan mengenai hak korban di atur pada beberapa Undang-undang/pengaturan yang terpisah, sedangkan di Perancis mengenai hak korban cukup diatur dalam satu Undang-undang yaitu di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana-nya (Code of Criminal Procedure).
Di Perancis, korban dapat langsung melakukan tindakan sipil yaitu tindakan untuk menggugat/menuntut ganti kerugian kepada pelaku/terdakwa atas kejahatan/tindak pidana yang dilakukannya, di proses peradilan pidana yang dilaluinya. Sedangkan di Indonesia, Korban pada proses peradilan pidananya tidak dapat langsung menggugat/menuntut ganti kerugian kepada pelaku atas kejahatannya. Begitupula dengan perbedaan lainnya seperti adanya hakim penyidik/pengawas, pelaksanaan perlindungan korban dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terdapat perbedaan mendasar antara sistem hukum pidana di Indonesia dengan sistem hukum pidana di Perancis. Pada Asas Legalitas terdapat perbedaan di dalam rumusan isi asas tersebut sesuai dengan uraiannya, dan terdapat perbedaan pada unsur-unsur pada pasal yang mengatur mengenai ketentuan Asas Legalitas tersebut. Pada Peran Korban di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat pula perbedaan di antara kedua sistem hukum negara tersebut diatas yaitu, Pengaturan mengenai peran korban pada sistem hukum pidana/sistem peradilan pidana di Indonesia kurang di perhatikan lebih dalam yaitu dalam hal ketentuan yang spesifik dan mendalam, akan tetapi di Perancis telah mengatur secara mendalam dalam perlindungan/jaminan terhadap hal korban tersebut. Disisi lain terlihat pula ketentuan penerapannya jauh berbeda diantara kedua negara, di Indonesia kurang menjamin kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana, sedangkan di Perancis sudah menjamin kedudukan korban dalam Proses serta Sistem Peradilan Pidana.
Memperhatikan pembahasan tentang perbandingan sistem hukum kedua negara tersebut diatas yaitu Indonesia dan Perancis, pembaharuan hukum pidana Indonesia adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Problematika yang muncul terkait dengan usangnya KUHP secara internal dan berkembangnya persoalan-persoalan di tengah-tengah kehidupan masyarakat secara eksternal menambah dorongan yang kuat dari masyarakat untuk menuntut kepada negara agar segera merealisasikan kodifikasi hukum pidana yang bersifat nasional sebagai hasil jerih payah dan pemikiran bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, RUU KUHP dan RUU KUHAP yang sudah kesekian kalinya direvisi selayaknya segera dibahas oleh lembaga legislatif untuk disahkan.
B. Saran
Saran penulis adalah Sistem Hukum Pidana Indonesia yang mengadopsi Hukum Belanda sampai sekarang belum diperbaharui dengan pengaturan Kitab Undang-undang Pidana serta Hukum Acara Pidana yang baru (revisi), maka dari itu sangat penting untuk memperbaharui sistem hukum pidana maupun acara pidana di Indonesia, berikut dengan revisi atas pengaturan ketentuan tentang jaminan hak atas korban tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, A.Z. dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Yarsif Watampone, 2010
Atmasasmita Romli, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009
Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982
Mansur, Dikdik M., Arief dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Pres, 2006, hal 29
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987
-------------, KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Jakarta: Bumi Aksara, 2005
Mubarok, Nafi’, Pidana Mati dalam Pasal 340 KUHP, Malang: Skripsi pada Universitas Brawijaya, 1998
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002
Remmelink, Jan, Hukum Pidana (Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia), diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1990
Tim UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), Ilias Chatzis, dk, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Jakarta: LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), 2010
[[2]] Kanter dan Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982, hal 42
[[5]] A.Z.Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Yarsif Watampone, 2010, hal 54
[[6]] Jan Remmelink, Hukum Pidana (Komentar atas pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia), diterjemahkan oleh Tristam Pascal Moeliono, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal 605
[[11]] Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska, 2009, hal 143- 144
[[14]] Tim UNODC (United Nations Office on Drugs and Crime), Ilias Chatzis, dk, Praktik Terbaik Perlindungan Saksi Dalam Proses Pidana Yang Melibatkan Kejahatan Terorganisir, Jakarta: LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), 2010, hal 30
[[15]] Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan: Antara Norma dan Realita, Jakarta: Rajawali Pres, 2006, hal 29
[[16]] Nafi’ Mubarok, Pidana Mati dalam Pasal 340 KUHP, Malang: Skripsi pada Universitas Brawijaya, 1998, hal 35
[[17]] Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002, hal 176-177
[[19]] Lihat; France: Code of Criminal Procedure, Article 2 & 3 disebutkan:
Article 2:(Ordinance no. 58-1296 of 23 December 1958 Article 1 Official Journal of 24 December 1958 in force on 2 March 1959) Civil action aimed at the reparation of the damage suffered because of a felony, a misdemeanour or a petty offence is open to all those who have personally suffered damage directly caused by the offence. The waiver of a civil action will not interrupt or suspend the exercise of the public prosecution, subject to the cases set out under the third paragraph of article 6.
Article 3: The civil action may be exercised at the same time as the public prosecution and before the same court. It is admissible for any cause of damage, whether material, bodily or moral, which ensue from the actions prosecuted.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar